Voyages Chapter Seven: Pesona Negeri di Atas Awan, First Day in Dieng!


“Ton, kapan kemah meneh?”
“Manut, arep nengdi?”
“Dieng yok, aku pengen ndelok sunrise neng Sikunir e..”
“Eleh, do gelem po pie?”
“Denis ki ngajak neng Dieng, jare dalane gampang kok, liyane mesti setuju wis, ya? Ya?”
“Yo, bar bodo wae, sekitar H+7 piye?”

Berawal dari obrolan ringanku saat menemani Tonny di apotek di suatu sore di bulan Ramadhan 1434H itu, akhirnya kami berhasil pergi berkemah ke negeri di atas awan yang tersohor itu. Memang sudah lama kuimpikan perjalanan itu, maklum, cerita yang kudengar dari teman-teman yang pernah berpetualang di sana memang selalu menarik dan membuatku penasaran. Pada tanggal 8 hingga 9 Agustus 2014 lalu, kami berubah wujud menjadi “Anak Dieng”. Hahahaha. Berikut ini cerita perjalanan kami selengkapnya.

Rencana liburan ke Dieng tersebut kuceritakan ke mantan teman-teman sekelasku di grup Whatsapp, banyak yang ingin ikut bergabung, namun banyak pula yang ternyata sudah memiliki janji pada hari yang kami tentukan. Setelah berkoordinasi lewat SMS dan chatting akhirnya terkumpul 7 orang yang mau dan bisa ikut pada camping kelas yang ketiga ini. Aku, Denis, Ipnu, Vania, Septyyana, Tonny dan Hendra. Tujuh teman seperjuangan mencoba menaklukan dataran tertinggi di pulau Jawa itu, dengan sepeda motor dan kekuatan tangan. Hmm.

Kami berangkat pada hari Jumat, 8 Agustus 2014. Sekitar pukul 9 pagi kami sepakat untuk berkumpul di depan Indomaret Point yang kebetulan tepat berada di depan tempat penyewaan tenda kami, Anak Rimba Adv., kami berlima (tanpa Ipnu dan Septyyana) segera berangkat menuju Jalan Magelang setelah menyewa tenda, membeli persediaan logistik, serta keperluan kecil lainnya. Di jalan Magelang itu pula, Ipnu menunggu kedatangan kami. Perjalanan berlanjut. Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan menuju Magelang, kami sampai di rumah Septyyana untuk menjemputnya. Perjalanan berlanjut sekitar setengah jam. Pukul 11.45 WIB, kami berhenti di Masjid Baiturrohmah di Kota Temanggung untuk istirahat dan melaksanakan shalat Jumat. Ada yang unik dari jamaah masjid di sini, jamaah wanita ternyata juga ikut shalat Jumat! 

Sekitar pukul 13.00 WIB kami beranjak dari masjid, segera melanjutkan perjalanan menyusuri Kota Temanggung, melewati Alun-alun Temanggung, mengisi ulang bahan bakar motor kami, dan sampai di negeri di atas awan, Kabupaten Wonosobo. Kami istirahat sejenak untuk makan siang. Menu kami hari itu adalah makanan khas Wonosobo, Mie Ongklok dan sate sapi, serta gorengan tempe dan geblek. Mie Ongklok sendiri adalah sajian mirip mie ayam namun tanpa kuah. Mie kuning disajikan dengan daun kol serta daun bawang iris yang sudah direbus, dilumuri bumbu kental yang manis dan gurih. Hmm. Kami lebih suka sate sapinya sih, lebih cocok di lidah, hahaha.
seporsi Mie Ongklok, segelas es teh dan dua tusuk sate sapi
geblek dan gorengan tempe khas Wonosobo


     
Setelah makan siang selesai, kami shalat Ashar di masjid di samping warung Mie Ongklok Bu Umi. Walau hujan sempat turun selama kurang lebih 10 menit, langit kembali cerah dan kami kembali melanjutkan perjalanan kami. Gerbang bertuliskan “Kawasan Dieng Plateau” kami lewati sekitar pukul setengah lima sore itu. Wah, pertanda baik nih, desa Sembungan sudah semakin dekat!

 Kondisi jalan di dataran tinggi Dieng tidaklah seseram yang kubayangkan sebelumnya. Jalan aspal yang sudah tertata rapi, meliuk-liuk dan banyak tanjakan naik maupun turun bukanlah hal yang sulit bagi sepeda motor kami. Udara dingin menusuk tulanglah yang justru menjadi musuh kami, hahaha. Tangan, kaki, dan muka kami serasa beku dengan suhu udara di Dieng sore itu. Untuk memasuki kawasan wisata Dieng hari itu, kami membayar Rp 10.000 di loket masuk, untuk 7 orang, sudah dengan diskon dari pak penjaganya, haha. Sekitar pukul 17.00 WIB kami sampai di gerbang masuk Desa Sembungan, desa tertinggi di Pulau Jawa. Akses menuju desa ini berbeda dengan kondisi jalan yang kusebutkan, sebagian besar jalanan di desa ini belum diaspal, masih berupa tanah kering dengan bebatuan besar yang kerapkali membuat sepeda motor kami kewalahan. 



Setelah berjuang keras melewati jalanan terjal, kami sampai juga di kaki bukit Sikunir, tepatnya di kawasan Telaga Cebong, Desa Sembungan, Kejajar, Wonosobo. Setelah membayar tarif masuk wisata desa seharga Rp 35.000 untuk 7 orang, Rp 10.000 untuk 2 tenda, dan Rp 20.000 untuk biaya parkir bermalam 4 sepeda motor, kami segera menuju pinggir telaga untuk menurunkan barang bawaan kami dan mendirikan tenda. Satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan kami sore itu, DINGIN!

Pukul 18.00 WIB, dua tenda kokoh berwarna hijau telah berdiri di sebelah tenda-tenda lain yang telah lebih dahulu berdiri. Tenda kami tepat berada di depan sebatang pohon di pinggir telaga dengan nyamannya. Tonny segera menyiapkan kompor portable mini yang kami sewa, memasak mi rebus untuk makan malam kami. Lalu apa yang kami berenam lakukan? Yup, betul! Menghangatkan diri di dalam satu tenda! Hahaha, maklum, anak kota yang terbiasa dengan udara panas mana bisa tahan dengan suhu di bawah 20 derajat Celsius?
mi rebusnya sudah mataaaaaang

menghangatkan diri dengan seporsi mi rebus, nikmat!

Makan malam berlalu begitu saja dan karena lelah, kami segera tenggelam dalam sleeping bag kami, menanti datangnya subuh untuk segera beranjak mengejar sunrise. (Bersambung)



Yogyakarta, 13 Agustus 2014

Post a Comment

0 Comments