Voyage Chapter 31: Perihal Mencintai Sahabat dan Pantai Toroudan yang Hebat

Akhir-akhir ini saya sering memikirkan perihal “Bagaimana sih parameter jatuh cinta bekerja?”. Banyak orang di luar sana yang melihat parameter ini dari seberapa besar mereka menyukai atau mengagumi. Suka dengan gaya berpakaian seseorang, cara bicaranya, isi kepalanya, serta apa saja yang sekiranya menarik hati bisa menjadi landasan yang kuat untuk meyakini bahwa “Ya, aku jatuh cinta.”

"We never get enough of falling in love and believing in love." - Shemar Moore

Bagi saya pribadi, jatuh cinta mungkin lebih dari itu dan tak semata hanya bisa ditujukan kepada pasangan hidup saja. Sebagai seorang hopeless romantic, saya jatuh cinta pada banyak hal. Jatuh cinta pada anak kucing yang saya temui di jalan, pada ombak berbuih di laut lepas, pada aroma roti yang baru saja keluar dari pemanggangnya, pada suara derasnya hujan di sore hari, bahkan pada sahabat-sahabat terdekat saya. Tak bisa saya pungkiri, jatuh cinta dengan sahabat itu adalah suatu hal yang dilematis. Mengapa demikian? 

Oh iya, sebelum lanjut menceritakan perjalanan saya yang dibumbui dengan perihal mencintai sahabat di postingan kali ini, saya ingin berbagi kabar bahagia bahwa blog sarasjatmiko ini sudah memasuki tahun ke-8 nya tepat hari ini. Ada sedikit kebanggaan saat menyadari bahwa saya yang delapan tahun lalu adalah seorang yang sangat tidak suka menulis bisa bertahan menganyam goresan-goresan tak bernada dan tak berirama namun memiliki syair yang untuk pribadi saya sendiri cukup bermakna, hingga delapan tahun lamanya. Saya berharap akan ada lebih banyak lagi tulisan-tulisan yang dapat saya bagikan di sini, entah itu tentang perjalanan saya, pelajaran berharga yang saya dapatkan, maupun pesan-pesan penting yang mampu mengisi jiwa pembaca. Seperti motto saya yang tersemat pada deskripsi blog ini: “I write because a message needs to escape.” Semoga. 

Di postingan yang istimewa kali ini saya ingin menceritakan pengalaman saya mengunjungi pantai yang belum pernah saya datangi sebelumnya, tepat lima hari setelah pemerintah membuka kembali akses wisata ke beberapa pantai yang beberapa bulan sebelumnya terpaksa ditutup untuk mengurangi lonjakan kasus positif di masa pandemi ini. Pantai manakah itu?

Minggu pagi

Hari Minggu pukul 06.45 WIB, 24 Oktober 2021, kurang lebih 15 menit sudah saya menunggu Azis, sahabat karib saya yang telah berjanji untuk menjemput saya di rumah hingga akhirnya dia datang. Saya, Azis, dan Dana sebelumnya telah sepakat untuk menghabiskan hari Minggu itu untuk mengunjungi pantai dan juga menikmati makanan laut yang rasanya sudah lama tak kami rasakan. Kebetulan, Mas Ian, suami Dana sedang mendapat jatah libur dari kantornya di Kalimantan dan bisa kembali ke Jogja untuk beberapa hari. Kami sepakat untuk bertemu di Soto Bathok di kawasan Sambisari untuk sarapan dan selanjutnya berangkat menuju Kabupaten Gunungkidul dan memburu ombak biru nan segar. Suasana hati saya lumayan buruk pagi itu. Dan memang, saya sudah amat paham dengan karakter dua sahabat karib saya yang tiap kali suasana hati saya sedang tak baik dan banyak menggerutu hanya let me grumble all the time and cool down by myself.

Sudah lebih dari 15 tahun saya mengenal mereka dan sepertinya tak banyak yang berubah dari sahabat-sahabat saya ini. Azis yang masih saja hobi bermain games dan ingin tahu akan banyak hal. Dana yang juga masih saja kritis dan terlalu bersemangat ketika mencoba hal-hal baru, yang kali ini adalah bullet journalling. Berteman selama 15 tahun lebih dengan mereka? Ya, aneh juga sih kalau dipikir. Percaya atau tidak, sebenarnya manusia itu memiliki jejaring layaknya gelombang radio. Ada gelombang AM, ada gelombang FM. Saya sebenarnya kesulitan dalam mendefinisikan frekuensi gelombang-gelombang ini. Ini karena frekuensi gelombang yang kita miliki sifatnya abstrak. Menurut hemat saya, ada sebuah indikasi bahwa seseorang itu satu frekuensi atau tidak dengan kita. Hal ini bisa berupa rasa nyaman saat berada di sekitarnya, bisa juga rasa klop yang terasa ketika mengobrol. Pernah merasa demikian?

Perjalanan menuju laut

Sama halnya dengan perjalanan kami pagi itu. Sepanjang perjalanan, Azis yang mengendarai di depan tak berhenti mengomentari banyak hal yang kami lewati, karena saya pun demikian. Mengenai banyaknya plat luar Jogja yang menuju ke Gunungkidul, banyaknya tempat makan yang baru dibuka, kawanan pengendara sepeda motor yang tak mematuhi lampu lalu lintas, bahkan mengenai para penjual belalang goreng yang kini mulai menambahkan kata “DADAKAN” di banner kios kecilnya di tepi jalan. Saya sebenarnya suka sekali diajak mengobrol ketika sedang perjalanan jauh. Selain mengurangi rasa kantuk, mengobrol bisa menghilangkan penat dan kebosanan di perjalanan.

Kurang lebih dua jam kami berkendara melewati Kota Wonosari - Jl. Baron hingga akhirnya sampai di tempat tujuan pertama kami hari itu, Pantai Toroudan. Oh iya, sebelum masuk gerbang penjualan tiket, pengunjung akan diminta menunjukkan bukti check-in pada aplikasi Peduli Lindungi, dan tentu saja wajib mengenakan masker. 

Pantai kecil yang hebat

Pantai Toroudan yang kami kunjungi pagi itu memang bukanlah pantai besar dengan jalan yang mulus beraspal. Justru karena itulah kami memilihnya, dengan begitu tak akan banyak pengunjung dan kami akan bisa lebih nyaman menikmati suasananya. Pantai ini sebenarnya tak jauh dari Pantai Baron dan Ngrenehan. Medan yang dilalui memang lebih sempit dan jauh masuk ke pemukiman warga, namun ternyata pantai ini masih terjangkau di Google Maps sehingga akan mempermudah pencariannya jika kehilangan arah.

Pantai kecil berpasir putih yang diapit karang-karang tinggi menjulang adalah deskripsi yang tepat untuk Pantai Toroudan. Sayangnya saya tak sempat menanyakan makna nama ini pada warga sekitar. Mungkin sesuatu yang berhubungan dengan hujan (“udan” bermakna hujan dalam Bahasa Jawa). Pantai ini kecil, namun sangat indah. Tak luas, namun hebat. Ombaknya besar dan liar. Anginnya sejuk dan membawa ketenangan.











Kami menghabiskan pagi itu untuk mengambil foto dan sesekali bermain dengan ombak kecil di tepian. Setelah perut mulai terasa lapar, kami memutuskan untuk menuju ke pantai lain yang menjual olahan makanan laut. Maklum, di Pantai Toroudan kami tidak bisa menemukannya. Akhirnya kami memilih Pantai Baron yang memang sudah terkenal akan wisata kuliner lautnya. Siang itu Pantai Baron penuh sekali oleh wisatawan. Sangat penuh, baik yang bermain air di pantainya maupun yang berebut membeli makanan hasil lautnya. Banyak sekali bus maupun mobil dan sepeda motor yang memenuhi parkiran. Dan begitu masuk ke kawasan pantainya, aroma semerbak makanan laut seperti udang goreng tepung, cumi goreng tepung, dan gorengan laut lainnya membuat perut kami makin keroncongan.

Hidangan laut

Segera saja, kami mencari tempat penjual ikan yang masih segar di sekitar pesisir dan meminang empat ekor ikan cakalang ukuran sedang, satu kilogram cumi-cumi, setengah kilogram udang, dan setengah kilogram kerang hijau. Kebetulan, si ibu penjual ikan segar yang bernama Bu Endar ternyata juga memiliki warung makan di kawasan pantai itu. Setelah membayar total dan menyetujui jenis masakan yang akan dibuat dari ikan-ikan segar yang sudah kami beli, kami segera menuju Warung Bu Endar 05 yang temboknya berwarna hijau muda dan menunggu hidangan disajikan di meja kami sambil meluruskan kaki karena lelah.

Sembari menunggu, kami sempatkan salat Zuhur di masjid kecil di dekat gerbang masuk Pantai Baron dan sejenak bermain online game setelahnya, mumpung sinyal di pantai ini cukup kuat. Kedua karib saya ini memang sudah dari dulu menjadi teman setia saya bermain online games. Entah sejak kapan kami sama-sama menyukai segala jenis game. Kembali ke teori frekuensi gelombang tadi. Biasanya memang orang yang satu gelombang ini berada dalam lingkaran terdekat kita. Seringnya, mereka adalah sahabat atau teman dekat kita. Semakin jauh frekuensi gelombang berbanding lurus juga dengan semakin jauhnya kesamaan “gelombang” itu. Mereka yang berdiri di gelombang terluar biasanya hanya sekadar teman atau kenalan yang hanya saling menyapa jika bertemu maupun ketika membutuhkan saja. Haha.


Lalu, apa kaitannya dengan mencintai sahabat? Seperti halnya kepada pasangan, mencintai sahabat dengan frekuensi gelombang yang sama akan sedikit menjamin awetnya keberlangsungan persahabatan itu sendiri. Tidak perlu lagi melalui proses menyesuaikan getaran gelombang. Lha wong frekuensi sudah lama sesuai. Ya, kan?

Dan sekarang saya merenung lagi, cinta kepada sahabat itu cinta yang seperti apa, sih? Kalau hanya sekadar nyaman atau nyambung, saya bahkan sudah lebih dari itu kepada sahabat karib saya. Cinta saya sepertinya terlalu luas. Seluas apa memang? Saya pun tak mampu memberikan definisi dan batasan yang jelas. Yang terpenting, bukankah menjadi insan yang kelebihan cinta jauh lebih baik dari insan yang jiwa membencinya luar biasa?


Yogyakarta, 1 November 2021


Post a Comment

2 Comments