Voyage Chapter 33: Pendakian Gunung Kembang via Blembem, Tentang Bersabar dan Berjuang

Wah, sudah berapa tahun saya tidak menulis tentang pendakian, ya? Jujur, dulu sebenarnya saya membuat blog ini untuk menceritakan kembali dan menyimpan cerita pendakian saya yang kala itu masih sering menapakkan kaki di puncak-puncak gunung saat masih bergelar mahasiswa. Entah sudah berapa tahun lamanya pula kaki ini tak menginjak puncak gunung. Seingat saya, gunung terakhir yang saya kunjungi adalah Gunung Andong di tahun 2014 lalu. Hingga akhirnya muncul ajakan dari Mas Dhadha, salah seorang senior di kantor, untuk mendaki gunung bersama dengan enam teman kantor lainnya di awal bulan September ini. Gunung yang dipilih adalah Gunung Kembang yang bersebelahan dengan Gunung Sindoro. Awalnya ragu juga dengan ajakannya, takut membebani tim dan takut jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Namun setelah mempertimbangkan banyak hal, saya menyatakan bersedia.

"The journey of a thousand miles begins with a single step." - Lao Tzu

Setelah persiapan dan melengkapi barang bawaan masing-masing sehari sebelumnya, kami berdelapan janji untuk bertemu di kantor sebagai titik kumpul sekaligus memastikan semua barang yang perlu dibawa sudah komplit. Kami menyewa dua mobil sebagai moda transportasi serta beberapa keperluan mendaki gunung dan berkemah seperti tas carrier, tenda dome, sepatu mendaki, trekking pole, dan lainnya. Sabtu, 3 September 2022, sekitar pukul 13.00 WIB kami berangkat. Mobil A berisi Mas Dhadha sebagai driver, Mbak Ais, Mbak Ganggas, dan saya. Sementara di Mobil B berisi Mas Cahyo sebagai driver, Mas Malik, Mbak Ayuri dan Mbak Amalia. 

Walaupun akhir pekan, jalanan di hari itu lumayan lengang tanpa macet, mungkin karena masih siang hari juga. Rute yang kami lewati dari kantor di Demangan adalah dimulai dari Jalan Godean – Nanggulan - Kalibawang – Borobudur – Salaman – Sapuran hingga akhirnya sampai di basecamp Gunung Kembang via Blembem yang terletak di Desa Blembem, Kaliurip, Kertek, Wonosobo, Jawa Tengah. Kurang lebih sekitar 4 jam waktu yang kami butuhkan hingga sampai di basecamp yang sore itu terselimuti kabut tebal dan anginnya dingin menusuk tulang. Begitu sampai, kami berempat di Mobil A segera menurunkan barang bawaan dari mobil ke dalam basecamp sambil menunggu Mobil B yang belum juga datang karena sempat tersasar. 



Sembari menunggu, kami salat Magrib-Isya terlebih dahulu dan mengeluarkan barang-barang kami untuk nanti dilakukan pengecekan. Pengecekan barang di basecamp Gunung Kembang via Blembem cukup menarik perhatian saya. Petugas secara teliti menyodorkan daftar yang bertuliskan barang-barang yang sekiranya bisa menjadi sampah tak terurai di puncak gunung sana. Kami harus mendata berapa bungkus mi instan yang kami bawa naik, berapa saset kopi atau jamu herbal yang kami masukkan ke dalam tas, juga berapa jumlah kantong plastik yang ada untuk kemudian besoknya akan dicek kembali setelah kami turun. Mengapa demikian? Sebenarnya Gunung Kembang adalah salah satu gunung terbersih yang ada di Indonesia. Hal ini adalah hasil dari kerja keras para mountain ranger yang dengan ketat memberlakukan peraturan denda Rp1.025.000 untuk setiap sampah yang tertinggal atau tak sengaja terbuang di atas gunung. Cukup memberatkan namun hasilnya sangat amat baik bagi kebersihan gunung dan kelestarian hutan di sana. Double thumbs up for them. Sekitar satu setengah jam menunggu, akhirnya Mobil B datang. Begitu mereka selesai salat dan mendata semua barang bawaan, kami segera bersiap untuk mendaki. 



Jalur pendakian dimulai dengan menaiki mobil pickup sekitar setengah jam untuk menuju kebun teh yang malam itu gelap berselimut kabut tipis. Sepanjang perjalanan rasanya badan seperti digoyang-goyangkan tanpa ampun, maklum jalanan berbatu dan terjal. Sejurus kemudian, kami turun di sebuah pos bernama Istana Katak, entah mengapa namanya demikian, tapi sayup-sayup memang terdengar suara katak bersahutan di belakang kami. Mungkin dari sanalah asal namanya. Oh iya, ada dua pendaki lain yang juga membersamai kami naik malam itu, Mas Cahyo dan Mas Linggar dari Semarang. Kami sih senang karena mereka berdua sangat ramah dan terlihat profesional, tidak seperti sebagian besar dari kami yang masih amatir. Hahaha.

Setelah sekitar setengah jam lebih menyusuri kebun teh yang tanahnya berbatu dan cukup basah untuk membuat kaki kami tergelincir, kami sampai di gerbang pendakian yang membatasi kebun teh tadi dengan medan selanjutnya yang berupa hutan lebat dengan banyak pepohonan tinggi dan akar-akar berukuran besar di sepanjang jalur pendakian. Gerbang tersebut bernama Kandang Celeng. Saya tak mau berspekulasi aneh-aneh tentang asal-usul nama gerbang ini. Takut nanti dikejar celeng beneran. Kan serem.

Begitu memasuki jalur pendakian hutan, jalan mulai terjal dan sangat menanjak. Tak aneh rasanya jika banyak yang menyebut Gunung Kembang sebagai si kecil-kecil cabe rawit. Walaupun tak setinggi gunung-gunung di sekitarnya, jalur pendakiannya bisa dibilang jauh lebih sulit dan menantang. 

Untuk sampai di pos pertama yang bernama Liliput, kami harus berjalan sekitar setengah jam menembus hutan yang sangat rimbun, yang akar pohonnya tebal dan mengular ke mana-mana. Jalan juga cukup licin dan curam malam itu. Saking sulitnya jalur, Mbak Ganggas bahkan terengah-engah saat harus melanjutkan pendakian hingga tas carriernya harus dibawakan oleh Mas Malik. Perjalanan berlanjut. Di kanan kiri kami bisa terlihat banyak semak rimbun dan akar gantung yang tumbuh subur. Dari Pos Liliput menuju pos kedua yaitu Kandang Coki-Coki, kami masih harus melewati rimbunnya hutan yang sangat dingin. 

Kurang lebih 20 menit waktu yang diperlukan dari pos pertama hingga sampai di pos kedua. Lalu kami melanjutkan pendakian melewati pos ketiga yang dinamai Pos Ekor Naga dengan sulur pohon besar berduri di tengahnya yang meyerupai sisik naga. Selanjutnya, kami menemui Pos Simpang Tiga. Mungkin pos ini dinamakan demikian karena ada pertigaan yang bisa ditemui di depannya. Dari Pos Simpang 3 dibutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk menuju pos selanjutnya yang dinamai Pos Akar, yang mana memang banyak sekali akar besar dan merambat leluasa di sana. Dari sini, jalur mulai menanjak tajam dan hutan terasa semakin lebat dan rimbun. Tanah pun terasa semakin licin dan basah. 


Sekitar 45 menit dari Pos Akar, kami berhasil keluar dari hutan belantara dan sampai di Pos Sabana 1. Sudah ada tiga tenda yang berdiri kokoh di sana. Nafas makin tersengal, kaki semakin pegal, senyum pun sudah tak menghiasi raut muka. Lelah. Namun kami sudah lebih dari separuh jalan. Harus segera dilanjutkan. Perjalanan harus tuntas. Dan setelah beristirahat sebentar, kami melanjutkan pendakian. Sekitar 20 menit dari Sabana 1, kami menemui Sabana 2, hingga akhirnya sampai di Pos Tanjakan Mesra setelah menaiki tanjakan curam dengan bantuan tambang besar di sana. Di pos ini, saya semakin yakin jika kata “Mesra” sebetulnya adalah singkatan dari “MEnyikSa jiwa RAga”. Bagaimana tidak, jalur menukik tajam dengan tanah yang kering berpasir dan berkerikil. Jika tidak awas, mungkin saja kami tergelincir dan jatuh. Kami terdiam. Terengah. Kehabisan tenaga. Kaki mulai sakit untuk naik. Kami istirahat lagi. Sabar. Ini berjuang.

Sekitar 20 menit dari Tanjakan Mesra, Sunrise Camp Bongkeng yang merupakan angin segar pertanda kami bisa menyelesaikan pendakian dan mendirikan tenda malam itu mulai terlihat. Tak bisa diungkapkan rasanya perasaan kami saat sampai di sana. Kaki terkulai lemas, nafas terengah cepat, jantung berdebar kencang. Kami sampai. Perjalanan kami selesai. Waktu menunjukkan pukul 03.20 WIB ketika dua tenda berwarna oranye sudah berdiri kokoh. Mbak Ganggas segera menyiapkan dapur dan memasak mi rebus bagi perut kami yang sedari di Pos Sabana tadi mulai keroncongan. Malam itu sangat dingin, udara di luar sekitar 6 derajat Celsius dan angin berhembus cukup kuat. Tak apa. Semangkuk mi rebus dengan telur dan sosis lumayan menghangatkan perut kami malam itu. Setelah kenyang, saya segera meringkuk di dalam sleeping bag dan memejamkan mata. Berharap udara dingin segera hilang dan kegelapan segera pergi. Tak sabar rasanya. 



Sekitar pukul 05.00 WIB saya bangun dan segera salat Subuh di dalam tenda. Sesaat kemudian mulai terdengar suara teman-teman saya di luar yang memanggil. Pertanda sunrise alias sang matahari terbit sudah siap menampakkan diri. Dingin. Udara pagi itu masih menusuk tulang. Namun hangat, karena senyum mereka terlihat begitu bahagia bak sinar mentari yang mulai menyinari tenda. Di depan gerbang Sunrise Camp, ada jalur menuju puncak Gunung Kembang yang akhirnya pagi itu kami naiki untuk berfoto di puncak. Sesampainya di puncak, ternyata sudah cukup banyak tenda yang berdiri di sana. Puncak gunung cukup luas karena bisa menampung sekitar 20an lebih tenda pendaki. Tidak seperti Sunrise Camp yang hanya bisa didirikan sekitar 6-7 tenda saja. Pemandangan di puncak juga tak kalah menakjubkan. Banyak gunung tinggi yang bisa terlihat jelas dari sana. Pun dengan hamparan hutan dan perkebunan teh menghijau di sekitarnya. Dari puncak Gunung Kembang bisa terlihat hamparan kawah bernama Bimo Pengkok yang telah ditumbuhi rumput hijau dengan kaldera penampung air hujan. Sangat indah.

Kami banyak bercerita di puncak gunung. Tentang perjalanan semalam yang cukup mencekam. Tentang indahnya Gunung Kembang yang terbebas dari segala jenis sampah. Tentang mendalami arti hidup. Tentang bersabar dan berjuang. Bersabar dengan segala kemungkinan yang entah datangnya kapan, berjuang untuk meraih tujuan di depan mata. Seru. Setelah turun dari puncak dan kembali ke tenda di Sunrise Camp, kami segera membantu Mbak Ganggas untuk menyiapkan sarapan. Menu pagi itu adalah English breakfast yang berupa toasted bread dengan mentega, telur mata sapi, sosis panggang, salad sayuran, dan secangkir kopi susu hangat. Setelah semua hidangan siap, kami menggelar matras dan makan bersama sembari bercerita tentang pendakian kami semalam hingga serunya berfoto di puncak pagi itu. Menyenangkan sekali rasanya. 





















Setelah perut terisi penuh, kami segera beberes dan membongkar tenda. Kami ingin segera turun gunung pagi itu agar matahari tak bersinar terlalu terik. Setelah berfoto terakhir kalinya di depan gerbang kemah, kami turun gunung. Perjuangan keras selama kurang lebih tiga jam melewati sabana yang sering membuat kami terpeleset, menuruni hutan yang tanahnya basah dan licin, dan meninggalkan kebun teh dengan jalan setapak berbatu, kami sampai kembali di basecamp pendakian. Rasanya seperti menguras semua tenaga yang ada di tubuh ini. Kami terlelap. Tak lama, kami segera membongkar barang bawaan kami beserta sampah yang sudah dicatat semalam untuk dilakukan pengecekan oleh petugas basecamp. Memastikan agar kami tak meninggalkan sampah apapun di gunung. Begitu pengecekan selesai dan kami terbukti tidak mengotori gunung, petugas memberikan lencana sebagai bukti. Senang rasanya. Agar tak terlalu larut, kami segera berkemas dan bersiap untuk pulang ke Jogja. Meninggalkan Gunung Kembang dan kenangan pahit manis bersamanya. Membawa pulang pengalaman mendebarkan yang mungkin tak bisa kami lupakan sepanjang hidup. Terima kasih Tim Pendaki CILACS UII! Terima kasih Gunung Kembang!


Yogyakarta, 06 September 2022



Post a Comment

0 Comments