Voyage Chapter 34: Menyusuri Sudut Kota Bangkok dan Pattaya di Negeri Gajah Putih, Thailand

Engkau duduk di situ
Diam tersipu malu
Mahu mendekati aku

Prolog

Begitulah penggalan lirik yang terus menerus terdengar dari ponsel Phi (Kak) Sunny, seorang pemandu wisata asli Pattani, Thailand yang sedari pagi itu terngiang di telinga saya. Sepertinya beliau sangat menyukai salah satu reels di Instagram dengan audio tersebut. Perlahan matahari mulai memancarkan terik sinarnya di langit Bangkok. Pagi itu, Minggu, 11 September 2022, saya sudah duduk manis di kursi penumpang terdepan mobil van yang akan digunakan untuk tur Bangkok-Pattaya selama tiga hari ke depan. Jadwal tur hari itu adalah mengunjungi beberapa tempat wisata di Kota Bangkok. Kemudian sorenya, mobil van akan bertolak ke Kota Pattaya.

Sebenarnya hari itu adalah hari kedua saya dan Mbak Elisa di Thailand. Malam sebelumnya, 10 September 2022, kami turun dari pesawat dengan jantung berdegup kencang sebab turbulensi beberapa menit sebelum mendarat di Bandara Don Mueang Bangkok lumayan terasa. Selain hujan deras, awan mendung juga terlihat cukup tebal di sekitaran langit bandara. Ya Tuhan, saya belum ingin mati, pesawat ini harus mendarat dengan selamat, rapal saya malam itu. Dan sesampainya di Hotel Picnic yang terletak di Jalan Ratchathewi, Kota Bangkok yang jaraknya sekitar 19km dari bandara, saya langsung check-in, mandi dengan air hangat, membeli makan malam berupa tumis sayur di pedagang kaki lima depan hotel dan beberapa jajanan di 7-Eleven, lalu tidur lebih cepat. Tak sabar dengan petualangan saya di negeri gajah putih yang sudah lama ada di wishlist negara yang ingin saya kunjungi.

Mengawali Hari di Bangkok

Mobil van yang dikendarai Khun (Pak) Nuum sekitar pukul 08.00 pagi itu berjalan gesit menuju destinasi pertama kami yaitu Kuil Wat Arun yang terletak di distrik Bangkok Yai di Bangkok, Thailand, tepat di hulu barat Sungai Chao Phraya. Kuil yang juga disebut sebagai Dawn Temple alias Kuil Fajar ini sudah mulai nampak kegagahannya ketika saya melangkahkan kaki ke perahu yang akan digunakan untuk menyeberang menuju ke sana. 

Sungai Chao Phraya pagi itu terlihat tenang dengan debit air yang berwarna cokelat susu yang tak begitu berombak. Sekitar sepuluh menit perahu menyeberangi sungai itu dan akhirnya kami sampai di gerbang masuk Kuil Wat Arun. Cerah. Langit terlihat biru dengan saturasi yang selaras dengan beberapa gumpalan awan putih. Sepertinya akan menjadi hari yang menyenangkan. Sejauh pengamatan saya, sebenarnya kawasan wisata Kuil Wat Arun tidak begitu besar. Masih jauh lebih besar kawasan Candi Prambanan di daerah tempat tinggal saya. Pun jika di Candi Prambanan masih dikelilingi tempat lapang sangat luas dengan rerumputan menghijau dan pohon-pohon rindang, di Wat Arun tidak demikian. Sekeliling kawasan Wat Arun adalah pemukiman penduduk yang tergolong padat. Di mana banyak dari mereka yang berjualan makanan atau minuman untuk para pengunjung kuil. Yah, mungkin karena destinasi wisata ini terletak di ibukota negara, ya.






Kak Sunny memberi kami waktu satu jam terhitung dari pukul 09.30 sampai 10.30 waktu setempat untuk berkeliling kuil dan mengambil foto sebanyak yang kami bisa. Walaupun pagi itu sinar matahari terasa sangat panas, kami menikmatinya. Banyak foto di berbagai sudut kuil yang bisa kami abadikan. Setelah selesai berfoto dan berkeliling, Kak Sunny mengajak kami ke penjual cenderamata  yang ada di samping kuil untuk membeli oleh-oleh. Ada banyak sekali jenis cenderamata yang bisa dibeli di tempat ini, di antaranya kaos, celana, topi, gantungan kunci, magnet kulkas, patung kecil, tote bag, dan masih banyak lagi. Saya hanya membeli beberapa benda saja mengingat bahwa saya tak membeli bagasi tambahan untuk penerbangan pulang ke Indonesia dua hari berikutnya.

Kami bergegas melanjutkan perjalanan ke destinasi kedua untuk hari itu. Mobil van segera melaju cepat menuju MBK Centre yang berada di distrik Pathum Wan tak jauh dari kuil Wat Arun. MBK atau Mahboonkrong adalah pusat perbelanjaan atau mal terbesar di Bangkok yang memiliki ketinggian delapan tingkat yang berisi sekitar 2.000 toko, restoran, dan beberapa gerai layanan.. MBK Center merupakan salah satu tempat yang populer dikunjugi para turis, meskipun mayoritas pembelinya adalah warga Bangkok. Ada banyak toko yang juga menjual barang otentik. MBK Center terhubung ke Siam Discovery dan Siam Paragon melalui jalan penghubung yang ditinggikan, di mana barang pada kedua mal tersebut lebih mewah dan hanya menjual barang otentik saja.

Tujuan utama kami ke MBK hari itu sebenarnya adalah untuk menikmati makan siang di salah satu restoran halal yang ada di lantai 5. Namanya adalah Yana Restaurant. Ternyata Kak Sunny sudah memesankan menu makan siang untuk kami sebelumnya. Begitu kami menempati kursi dan meja reservasi, pelayan langsung menyajikan beberapa hidangan menggugah selera seperti sepanci tom yum kung panas, telur dadar yang disajikan dengan saus tomat, ayam goreng bumbu rempah dengan coleslaw, dan tumis sayuran yang menyerupai kangkung dengan rasa seperti bayam, entah di sana disebutnya apa, haha. Yang kami tahu, kami sangat lapar siang itu. Dan setelah mengucap doa makan, hidangan tersebut langsung ludes. Baru kali itu pula saya mencicipi tom yum kung yang otentik dari negara asalnya. Ternyata rasanya lumayan berbeda dengan yang pernah saya coba di Indonesia. Dari pengamatan saya, tom yum kung di Bangkok memiliki aroma rempah dan rasa asam yang cukup kuat, walau tidak begitu pedas. Kuahnya dibuat dengan bahan-bahan beraroma segar seperti serai, daun jeruk purut, lengkuas, air jeruk nipis, saus ikan, dan cabai merah kering yang dihancurkan. Ada bermacam-macam isian di dalamnya, ada udang, cumi, jamur kancing, dan beberapa bumbu dan irisan rempah. Segar sekali rasanya. 






Begitu selesai makan, Kak Sunny lagi-lagi memberikan kami waktu satu jam untuk salat Zuhur dan berkeliling atau berbelanja di lantai yang kami inginkan. Saya segera mengajak Mbak Elisa untuk menemani saya berkeliling beberapa toko dan membeli pernak-pernik. Sementara Mas Adit dan Mbak Linda, dua peserta tur lainnya berbelanja di toko yang berbeda. Satu jam kemudian, kami berempat sudah duduk manis di mobil van bersiap menuju destinasi selanjutnya, yaitu Kota Pattaya. Panas sekali siang itu.

Mobil van yang dikendarai Pak Nuum melaju kencang di jalan raya besar yang sangat panjang menuju Kota Pattaya. Mungkin ada sekitar dua jam lebih perjalanan menuju ke sana. Sepanjang perjalanan saya tak banyak berbicara. Sambil menikmati donat isi custard hijau yang saya beli di 7-Eleven depan hotel sebelum berangkat tadi, saya sesekali melihat kendaran di luar dan berpikir, “Thailand ternyata jauh banget, ya. Nggak nyangka bisa ke sini beneran.” Memang sudah cukup lama saya berencana mengunjungi negeri gajah putih ini. Beruntung, ajakan saya ke Mbak Elisa di bulan Juli menunjukkan lampu hijau dan beliau menyanggupinya. Haha.

Pattaya, Kota yang Tak Pernah Tidur

Sesampainya di Kota Pattaya, kami diajak Kak Sunny mengunjungi Big Bee Farm yang berada di Distrik Bang Lamung, Chon Buri. Tak banyak yang bisa dilihat di sana selain bagaimana proses madu dihasilkan oleh lebah dan berbagai macam alat yang digunakan untuk mengekstrak madu terbaik. Kurang lebih satu jam yang kami habiskan di sana. Rasanya tenaga kami sudah habis hari itu. Dan sebelum ke sampai di hotel tempat kami menginap di Pattaya, Kak Sunny mengajak kami untuk makan (lagi) di salah satu restoran halal tak jauh dari Big Bee Farm tadi. Namanya Amir Halal Foods, tepatnya berada di Pattaya Rd, Muang Pattaya, Distrik Bang Lamung. Restoran ini sepertinya dikelola oleh keluarga keturunan Arab, sejauh yang dapat saya amati. Menu makanan yang dipesan oleh Kak Sunny antara lain salad sayur dengan telur rebus, ayam goreng dengan sambal khas Thailand, semangkuk besar tom yum kung pedas, telur dadar dengan sayur, ikan goreng bumbu pedas, dan tumis sayur dengan kacang tanah utuh yang saya tak tahu namanya. Hidangan tersebut disajikan dengan megah hingga membuat perut kami yang sebelumnya masih kenyang dengan makan siang di mal MBK kembali lapar. Tak hanya itu saja, sesaat setelah hidangan utama kami santap, salah seorang pramusaji datang ke meja kami dan menyajikan sepiring mango sticky rice di depan kami masing-masing. Jujur, ini adalah mango sticky rice pertama dalam hidup saya, dan saya berkesempatan untuk mencoba yang asli dari negeri asalnya. Masya Allah. Perut kami kenyang sekali sore itu. 






Tak lama setelah meninggalkan Amir Halal Foods, mobil kami sampai di pesisir Pantai Pattaya. Sore itu menunjukkan sekitar pukul 18.00 waktu setempat dan sunset bisa terlihat dari jendela mobil. Pantai Pattaya adalah pantai berpasir putih di area Distrik Bang Lamung. Tak jauh dari bibir pantai, bisa ditemukan banyak bar (yang sore itu belum terlalu ramai) dan resto, juga pusat perbelanjaan serta hotel-hotel besar. Hotel tempat kami menginap malam pun berlokasi tak jauh dari pantai, mungkin hanya sekitar 5 menit jalan kaki. Namun indahnya matahari terbenam tak begitu kami gubris. Badan kami terlalu lelah. Rasanya ingin segera mandi dan berbaring di kasur saja, sambil menikmati sekaleng soda dingin. 

Setelah check-in dan diberi kunci kamar, saya langsung menuju lift dan melesat secepat kilat. Air di kamar mandi sore itu terasa dingin dan sangat segar. Mungkin ada lebih dari 20 menit saya mandi membersihkan diri. Rasanya lelah dan penat hari itu hanyut bersama air yang mengalir dari pancuran. Selesai mandi, saya segera berganti pakaian dan merebahkan diri di atas kasur. Tak lama, Mbak Elisa mengajak saya untuk keluar hotel dan berjalan kaki mengunjungi mal samping hotel yang kemudian saya iyakan begitu saja. Sepertinya setelah mandi tadi energi saya kembali terisi.  

Walaupun agak gerimis, kami tetap melangkah keluar hotel. Langit gelap tak berbintang menghiasi malam itu di sekitar kawasan Pantai Pattaya. Tak lama, kami sudah sampai di area depan mal yang terdapat banyak sekali penjual makanan. Mulai yang biasa ditemui di Indonesia seperti macam-macam gorengan, hingga yang unik seperti sate buaya dan ular bisa ditemui di kawasan foodcourt ini. Karena masih kenyang, kami tidak tergoda. Serem juga sih soalnya, haha. Waktu menunjukkan pukul 20.23 waktu Pattaya ketika kami memasuki salah satu toko pakaian di dalam mal. Sebenarnya malam itu Mbak Elisa sedang mencari kaus untuk dipakai besok karena ia tak membawa banyak di kopernya. Dan walau akhirnya kami tak membeli apa-apa, puas rasanya jalan-jalan di mal malam itu. Begitu keluar dari mal, kami mampir dulu ke 7-Eleven untuk membeli minuman yogurt dingin dan kembali ke hotel. Then, we called it a day





Keesokan paginya, saya bangun sangat pagi. Sekitar pukul 05.00 pagi itu saya mandi dan segera berganti pakaian. Malam sebelumnya, saya sudah berjanji pada Mbak Elisa untuk menemaninya menyusuri Pantai Pattaya sebelum matahari terbit.  

Berwisata di Pattaya

Senin, 12 September 2022 sekitar pukul 05.40 waktu Pattaya, saya dan Mbak Elisa sudah berjalan kaki menyusuri pedestrian walk di sepanjang Pantai Pattaya. Suasana pagi itu sungguh amat berbeda dengan yang saya lihat malam sebelumnya. Hingar bingar bar di malam hari dan ramainya pejalan kaki serasa raib ditelan dinginnya udara pagi yang menusuk tulang. Di sepanjang pantai, saya melihat banyak sekali burung merpati yang kemudian saya kejar dan beterbangan ke segala penjuru. Ada beberapa pemilik kios yang sudah membuka kiosnya dan merapikan kursi serta payung-payung bagi calon pelanggan. Terlihat juga beberapa pelancong yang sedang berolahraga sambil menikmati sejuknya angin pantai di pagi hari. Dan setelah lelah berjalan, kami segera kembali ke hotel untuk sarapan. Mungkin karena jalan-jalan tadi, rasanya begitu lapar perut saya pagi itu. Sejurus kemudian, di piring saya sudah tersaji rapi satu centong nasi goreng ayam tanpa kecap, tiga potong sosis sapi, telur mata sapi setengah matang, setengah porsi pasta dengan saus Bolognese, dan beberapa iris kentang goreng berbumbu. Dan demi menghemat waktu mandi nanti, saya segera melahapnya. 







Muka kelaparan tapi belum mandi

Hari sebelumnya, Kak Sunny sudah berjanji akan menjemput kami di lobby hotel sekitar pukul 08.30 waktu Pattaya. Dan setelah mengemasi barang bawaan, kami check-out dari Baron Beach Hotel. Destinasi pertama untuk hari ketiga di Thailand adalah Gems Gallery Pattaya Co. Ltd. yang berlokasi di Rama 6 Road, Distrik Bang Lamung, Chon Buri. Gems Gallery merupakan galeri permata yang juga menyuguhkan sejarah pembuatan permata terbaik yang divisualisasikan dengan diorama. Pengunjung akan diminta untuk menaiki gondola menembus gelapnya terowongan dan akan berhenti untuk melihat tiap tahap sejarah atau pembuatan permata. Setelahnya, kami turun dari gondola dan langsung disuguhkan dengan puluhan etalase kaca berisi berbagai macam jenis perhiasan bermandikan permata yang tentu saja harganya tidak masuk akal sehat saya. Hahaha. Benar-benar windows shopping rasanya.

Destinasi kedua hari itu adalah Toko Erawadee yang lokasinya tak jauh dari Gems Gallery, tepatnya di N Pattaya Road 159/151, Distrik Bang Lamung, Chon Buri. Mungkin hanya sekitar 20 menit perjalanan naik mobil, kami sudah sampai. Toko herbal Erawadee hari itu cukup ramai oleh beberapa pengunjung asing, termasuk di antaranya sekelompok pelancong dari Indonesia. Erawadee adalah pabrik obat herbal alami yang sudah ada sejak 1997. Toko ini menjual banyak sekali jenis produk herbal yang banyak diburu wisatawan mancanegara. 

Sebelum berbelanja, kami dipersilakan untuk masuk oleh salah satu representative yang menjelaskan aneka jenis produk herbal dan khasiatnya. Tenang saja, mas-mas yang menjelaskan ternyata cukup fasih menggunakan Bahasa Indonesia walau beliau asli keturunan Thailand. Tak heran sih, mayoritas pengunjung toko adalah wisatawan Indonesia dan Malaysia. Dan selain menjelaskan produk, kami juga diizinkan untuk mencoba testernya, sebut saja minyak angin atau balsamnya yang ternyata cukup membakar betis saya siang itu. Hahaha. Kami hanya menghabiskan sekitar satu jam untuk berbelanja di Erawadee. Saya sendiri hanya membeli beberapa minyak aromaterapi untuk ibu dan para sobat jompo saya di Jogja, juga lip balm beraroma buah ceri dan sabun herbal untuk saya sendiri. 

Perjalanan dilanjutkan menuju Pattaya Floating Market yang membutuhkan sekitar setengah jam dari Erawadee tadi. Pasar terapung ini tepatnya berlokasi di Sukhumvit 12 Road, Distrik Bang Lamung, Chon Buri. Pasar ini lumayan luas dan dipenuhi dengan rumah-rumah kayu yang lantai kayunya terhubung satu sama lain. Cara terbaik untuk mengelilingi pasar ini adalah dengan menaiki perahu dengan biaya sekitar seratus ribu rupiah per orang. Saya dan Mbak Elisa memilih untuk berjalan saja karena siang itu cuaca sangat panas. Berada di perahu tanpa atap tentu saja akan membuat kami berkeringat dan cepat lemas. Kami akhirnya berjalan menyusuri kios demi kios di sana. Memperhatikan banyak barang-barang dan souvenir unik yang harganya cukup terjangkau. Siang itu benar-benar sangat terik. Saya berhenti sebentar di kios jus buah untuk membeli smoothie mangga seharga 40 Baht atau sekitar dua puluh ribu rupiah. Cukup terjangkau untuk satu cup besar smoothie mangga yang bisa mendinginkan kepala saya siang itu.







Nongnooch Village yang Sangat Megah

Karena memang tak berniat membeli oleh-oleh di Floating Market, saya dan Mbak Elisa akhirnya tidak membeli apa-apa. Menuju destinasi selanjutnya, mobil yang dikendarai Pak Nuum segera melaju kencang menuju Na Chom Tian, Distrik Sattahip, Chon Buri di mana Nongnooch Village berada. Nongnooch Village Pattaya merupakan sebuah taman tropis yang luasnya sekitar 600 hektar. Kak Sunny menceritakan bahwa taman ini merupakan milik salah satu orang terkaya di Pattaya. Bagaimana tidak, rasanya kaki tak mampu berkeliling taman ini dalam waktu sehari saking luasnya, terlebih Kak Sunny hanya memberi waktu kami 3 jam di sana. Ada banyak obyek yang bisa dikunjungi di taman mega besar ini. Ada area yang didesain layaknya taman di Eropa dengan berbagai macam bunga. Ada pilar-pilar besar yang menjadi tempat pemujaan umat Buddha yang didesain indah dan asri sedemikian rupa. Ada hamparan kebun kaktus yang terawat rapi, bahkan miniatur Stonehenge yang dikelilingi tanaman menghijau sejauh mata memandang. Benar-benar tak akan cukup waktu 3 jam kami kala itu. 

Ketika memasuki gerbang, Kak Sunny memberikan satu lembar tiket berwarna putih ungu dengan tulisan aksara Thailand yang tentu saja tak terbaca oleh saya. Tiket itu ternyata bisa saya gunakan untuk menikmati makan siang di foodcourt Nongnooch, menyaksikan pertunjukkan budaya di stage dan juga melihat atraksi gajah di sana. Karena kami sudah sangat lapar, segera saja kaki melangkah cepat menuju foodcourt. Siang itu sudah banyak sekali pengunjung di sana, mungkin karena sudah masuk waktu makan siang juga. Ada banyak sekali pilihan menu yang bisa dipilih di tiap-tiap anjungan, pun sepertinya semuanya menu masakan Thailand yang belum begitu saya kenali. Kami berempat kemudian memilih salah satu meja dan duduk bersama di sana. Secara bergantian kami mengambil makanan dan menunggu di meja agar tak dipakai pengunjung lain. 

Siang itu di dalam foodcourt, saya sangat gembira. Pasalnya dari sekian banyak menu yang disajikan, hanya pad thai dan som tam yang dapat saya identifikasi. Menu lainnya benar-benar baru kali itu saya lihat. Ingin rasanya mencoba semua menu ketika akhirnya teringat perut saya sudah tak sehebat dulu. Porsi makan saya mengecil sejak entah beberapa bulan belakangan. Mungkin ini salah satu alarm dari tubuh yang mengingatkan bahwa metabolisme saya sudah tak sehebat ketika remaja. Yah, baiklah. Saya akhirnya mengambil semangkok bakmi berkuah bening dengan irisan daging ayam besar-besar, sepiring bihun yang dimasak tumis dengan irisan bawang merah dan cabai yang rasanya dominan asin-asam, semangkuk kecil sup sawi berwarna jingga dengan rasa pedas segar, dua potong ayam goreng dengan seporsi sambal Bangkok, lalu tentu saja sepiring kecil som tam dan juga pad thai









Wah, ternyata lumayan banyak menu yang saya ambil. Maklum, perut ini sepertinya terdengar sangat keroncongan. Jangan tanyakan rasa dari makanan-makanan yang saya ambil ini, ya. Lidah Indonesia saya menilai masih jauh lebih enak nasi sambel teri di angkringan depan rumah atau masakan bakmi Jawa di warung andalan saya. Masakan Thailand sebenarnya sangat bervariasi dan beragam, tapi bagi lidah saya rasanya nanggung. Entah itu terlalu asin, tak terasa bawangnya, terlalu asam, kurang pedas, atau kurang manis. Lidah saya bingung dibuatnya. Dan setelah selesai menyantap makanan-makanan di atas, saya menuju anjungan makanan pencuci mulut dan dengan sigap mengambil semangkok es serut dengan topping daging kelapa dan irisan buah yang ternyata manisnya pas dan bisa menghibur lidah saya. 

Selesai dengan perut kenyang, saya dan Mbak Elisa segera keluar dari foodcourt dan menuju salah satu gedung restoran bertingkat yang terdapat musola di dalamnya. Sembari menunggu saya salat Zuhur, Mbak Elisa sepertinya berkeliling sekitar taman dan mengabadikan beberapa jepretan gambar. Siang itu terasa sangat terik. Keringat kami mengucur deras. Kawasan wisata Nongnooch Village merupakan ruang terbuka yang sangat luas dan jarang ada pohon perdu yang bisa ditemui sebagai tempat berteduh. Alhasil, kami tak banyak berkeliling. Dan karena waktu sudah menunjukkan bahwa pertunjukkan budaya segera dimulai, kami langsung menuju stage yang lokasinya tak jauh dari foodcourt. Stage atau gedung teater yang dipakai untuk pertunjukkan seni budaya ternyata lumayan megah dan besar. Beda dengan keadaan di luar, di dalam rasanya sejuk dingin. Sudah ada banyak sekali penonton di sana, walau pertunjukkannya belum dimulai. Sekitar sepuluh menit setelah kami duduk di barisan kursi tengah, lampu panggung mulai meredup, pertanda pertunjukkan akan segera dimulai. 

Pertunjukkan dimulai dengan penampilan belasan penari berpakaian tradisional Thailand yang secara bergantian mempertontonkan tarian dan lagu-lagu khas tiap distrik di negara gajah putih tersebut. Alunan musiknya sangat memanjakan telinga kami. Pun dengan tarian serta atribut yang dikenakan oleh para penampil, terlihat sangat megah di bawah lampu sorot beraneka warna dan membuat mata kami nyaris tak berkedip. Para penampil terlihat sangat profesional dengan apa yang mereka lakukan. Kami benar-benar tertegun siang itu. Dan tak terasa, pertunjukan selama kurang lebih 1 jam selesai begitu cepat. 

Setelah pertunjukan seni budaya tadi selesai, penonton langsung diarahkan untuk menuju ke stage terbuka yang tak jauh dari stage teater. Dan tak lama setelah kursi tribun yang berbentuk tangga besar dan lebar mulai penuh penonton, pertunjukan keterampilan gajah pun dimulai. Saat itu saya baru tersadar, selama 2 hari di Thailand, baru kali ini saya melihat hewan berbelalai maskot dari negara ini. Tak hanya satu, ada belasan gajah dengan ukuran beragam yang menjadi primadona pertunjukkan di siang itu. Pertunjukkan dibuka oleh beberapa gajah muda yang memamerkan keahlian menarinya, tentu saja dengan arahan dari pawang. Kasihan sebenarnya melihat anak-anak gajah melakukan hal tersebut di depan kami. Mereka juga mungkin sebenarnya tak mau melakukan itu. Tapi mungkin ini adalah salah satu pertunjukan yang menjadi daya tarik bagi wisatawan yang melancong ke Nongnooch Village, tak terkecuali Mbak Elisa. Tangannya sibuk merekam tarian gajah-gajah nan lucu sambil seekali ia tertawa karena merasa lucu melihat hewan-hewan besar tersebut beratraksi. 





Pertunjukkan gajah tadi menutup kunjungan kami ke Nongnooch Village hari itu. Kami harus segera bergegas karena waktu 3 jam yang diberikan Kak Sunny tak terasa sudah berlalu begitu saja. Di parkiran, sambil menunggu mobil van Pak Nuum, saya dan Mbak Elisa berfoto di sekitar pintu masuk Nongnooch. Dan tak lama setelah mobil van yang kami naiki menyusuri jalanan Kota Pattaya setelah meninggalkan kawasan Nongnooch, kami sampai di Laser Buddha on Hill. Ini adalah salah satu destinasi wisata unik di Pattaya. 

Secara singkat, Laser Buddha adalah tebing yang memiliki tinggi sekitar 130meter yang terdapat gambar Buddha yang besar di tengahnya. Yang membuatnya unik adalah gambar Buddha berukuran raksasa tersebut dibuat dengan laser dan dilapisi emas. Destinasi wisata ini juga dikenal sebagai tempat dengan gambar Buddha terbesar di dunia. Karena siang itu langit mulai gelap dan gerimis berjatuhan, kami tak banyak menghabiskan waktu di Laser Buddha. Hanya mengambil beberapa foto saja dan langsung kembali menuju van. Toh, kami juga sudah cukup lelah setelah mengunjungi beberapa destinasi hari itu. Sebagai remaja jompo, saya dan Mbak Elisa tentu lebih memilih untuk berada di dalam van saja sambil menyeruput sebotol minuman dingin.


Kembali ke Bangkok

Tak terasa waktu sudah semakin sore sehingga kami memutuskan untuk segera bertolak meninggalkan Kota Pattaya untuk menuju Bangkok. Masih ada satu destinasi wisata yang akan kami kunjungi hari itu yaitu Asiatique The Riverfront yang lokasinya tak jauh dari pusat Kota Bangkok. Namun di perjalanan, Kak Sunny mengajak kami mampir terlebih dahulu di salah satu pusat oleh-oleh yang menjual berbagai macam makanan yang bisa kami bawa pulang. Lokasinya ada di Bangkok, saya lupa nama tokonya apa, lupa bertanya ke Kak Sunny. Ada banyak sekali jenis oleh-oleh yang bisa dibeli oleh pengunjung dan sebagian besar ada testernya alias boleh dicicipi. Saya kalap mencoba semua jenis cemilan yang ada di sana, kecuali keripik daging babi tentu saja. Tak banyak yang saya beli, maklum, takut melebihi muatan koper. Akhirnya hanya daging kepiting kering dan dodol durian (?) khas Thailand saja yang saya beli. 

Perjalanan menuju Bangkok dari Pattaya sore itu terasa sangat lama. Mungkin karena kami sudah mulai lelah dan mengantuk juga. Apalagi jalanan Bangkok malam itu lumayan macet, tak jauh berbeda dengan Jakarta. Hingga akhirnya sekitar pukul 19.30 waktu setempat kami sampai di Asiatique The Riverfront. Meleset jauh dari perkiraan awal kami bisa sampai sana sebelum matahari terbenam, haha. Asiatique The Riverfront sebenarnya merupakan pasar terbuka dan terbesar di Bangkok. Ada kurang lebih 1.500 toko dan kios yang menjual berbagai jenis barang, pakaian, maupun cendera mata serta lebih dari 40 tempat makan dengan menu yang sangat bervariasi di sini. Saya sampai bingung harus mampir di kios yang mana saking banyaknya. Begitu masuk gerbang, di kanan kiri kami terlihat jajaran kios cendera mata yang ternyata menarik hati Mbak Elisa untuk mampir, khususnya di kios yang menjual pakaian wanita dengan model baju yang sangat cantik. Selesai melihat-lihat, kami mempercepat langkah menuju dekat pelabuhan sungai karena saya sangat ingin berfoto dengan kapal yang ada di sana. 

Di perjalanan menuju pinggir sungai, kami melewati kios-kios makanan yang menunya sungguh menggugah selera. Sebut saja pad thai, makanan laut goreng tepung, berbagai macam mi goreng, berbagai jenis tom yum kung, nasi goreng, dan masih banyak lagi. Ingin rasanya mampir dan memesan salah satu menu seafoodnya, tapi melihat harganya yang sungguh di luar nalar (mulai sekitar Rp90.000 per porsi), kami mengurungkan niat. Walau perut sudah keroncongan, kami tahan demi bisa membeli pad thai buatan ibu-ibu penjual kaki lima di depan hotel yang porsinya banyak, harganya jauh lebih murah (sekitar Rp21.000 per porsi), dan rasanya jelas enak. Hahaha. Dan akhirnya kami sampai di tepi pelabuhan sungai yang sudah terdapat banyak orang.

Malam itu langit cerah. Ada puluhan bintang yang bisa saya lihat. Namun entah mengapa, cahaya dari lampu-lampu kapal bersinar lebih terang dan membuatnya terlihat semakin megah. Saya belum pernah naik kapal sebesar itu. Terakhir naik kapal pun hanya kapal ferry saat hendak menyeberang ke Pulau Sumatra sekitar sepuluh tahun lalu. Kapal yang saya lihat di depan mata sepertinya memang tidak difungsikan sebagai alat transportasi. Di dalamnya saya bisa melihat banyak meja dan kursi serta pengunjung yang sudah duduk manis menunggu makanan dan minumannya diantarkan oleh pelayan. Kapal ini sepertinya telah dialihfungsikan menjadi restoran mewah. Saya tak sanggup membayangkan harga menunya. Hahaha. Ya sudahlah. Yang paling penting saya bisa berfoto dengan kapal megah itu.







Ada buaya lagi ☹

Selesai berfoto dengan kapal dan bianglala raksasa, kami segera berjalan keluar lokasi dan menuju parkiran untuk segera menaiki mobil van. Badan kami benar-benar lelah malam itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 dan mata kami terasa sangat berat. Kasur hotel yang empuk dan selimut yang hangat sudah terbayang di depan mata. Mobil van segera bergegas melaju menuju hotel tempat kami menginap di hari pertama, Hotel Picnic. 

Sesampainya di hotel dan mandi dengan air hangat, entah mengapa rasanya mata segar kembali. Dan tanpa aba-aba, perut saya tiba-tiba mengeluarkan suara erangan luar biasa. Lapar. Saya baru ingat perut saya terakhir terisi jam 12 siang tadi. Segera saya ajak Mbak Elisa untuk turun dan keluar dari hotel menuju beberapa pedagang kaki lima di tepi jalan seberang hotel. Setelah membeli teh oolong dingin dan kue donat favorit saya di swalayan, kami mampir warung pad thai milik ibu-ibu yang saya ceritakan tadi dan segera memesan. Tangan cekatan si ibu dengan cepat memadu padankan bumbu dan bahan-bahan seperti mi kwetiau, telur, potongan tahu, tauge, daun kucai, dan kacang giling ke penggorengannya yang sangat besar. Setelah beberapa saat pengadukan, pad thai pesanan kami sudah rapi terbungkus kertas minyak. Saatnya menutup hari ketiga di Thailand dengan makan (tengah) malam!

Donat favorit!


Pagi harinya setelah mandi, mengemasi barang, dan sarapan di hotel, saya dan Mbak Elisa memutuskan untuk berjalan-jalan keluar hotel. Kak Sunny akan menjemput kami pukul 15.30 sore sehingga kami punya banyak waktu menghabiskan sisa Baht di dompet kami hari itu untuk berbelanja. Yah, walaupun kami tak bisa pergi jauh-jauh karena takut terjebak macet dan jadi terlambat ke bandara. Sambil berjalan santai menyusuri jalanan di sekitar hotel, saya mampir ke 7-Eleven untuk membeli sebotol susu stroberi dingin, donat favorit saya (lagi-lagi) dan beberapa jajanan ringan. Oh iya, ngomong-ngomong tentang berbelanja di swalayan, entah sudah ke berapa kalinya kami dikira warga lokal oleh mbak-mbak kasir. Begitu kami bersiap membayar, kasir selalu mengajak berbicara dalam bahasa Thailand dengan cukup cepat dan tentu saja kami tak paham. Mungkin karena muka orang Indonesia dan Thailand tidak bergitu jauh berbeda yang menjadi penyebabnya. Akhirnya saya hanya membalas dengan Bahasa Inggris, walaupun mbak kasir kurang begitu memahami. Haha. 

Saya dan Mbak Elisa juga memanfaatkan waktu pagi itu untuk berfoto dengan beberapa sudut di jalan dan di depan kios-kios di sekitar hotel yang sepertinya masih belum buka. Cukup banyak anak sekolah berseragam yang berlalu lalang di depan kami. Nampaknya di depan hotel ada sekolah setingkat SMA. Pagi hari adalah saatnya siswa Thailand disibukkan dengan kegiatan di sekolah. Pagi itu lumayan cerah walau lumayan banyak awan di langit sehingga sinar matahari tak begitu menyengat. Kami melanjutkan berjalan ke arah jalan raya dan menyusuri sepetak trotoar yang cukup lebar di bahu jalan raya tersebut. Tujuan kami adalah Mal Platinum yang letaknya sekitar 600meter dari hotel. Awalnya kami ingin naik taksi online agar lebih cepat. Namun rasanya sayang kalau harus melewatkan kesempatan berjalan kaki menyusuri jalan raya pagi itu. Selain lumayan lengang, tenaga kami juga masih utuh sebab semalam tidur kami sangat pulas. 

Kami berjalan sekitar 20 menit dan akhirnya sampai di Mal Platinum. Salah satu mal besar di Kota Bangkok yang terletak di pusat kota. Tujuan kami ke mal ini adalah untuk membeli tambahan oleh-oleh yang belum sempat kami beli ketika kami berada di Kuil Wat Arun kemarin. Menurut Kak Sunny, mal yang kami kunjungi ini menyediakan barang yang lumayan lengkap, apa saja ada. Dan ternyata memang benar, ada banyak sekali kios yang menjual pakaian, asesoris, tas, maupun cendera mata lainnya. Kami naik ke lantai atas untuk mencari kios yang khusus menjual suvenir bernuansa Thailand. Ada beberapa jenis barang yang kami beli, di antaranya kaus, gantungan kunci, magnet kulkas, dan suvenir kecil lainnya. Sekitar satu jam lebih kami menghabisakn waktu di mal ini. Setelah selesai berbelanja, kami meninggalkan mal dan memutuskan untuk memesan taksi online karena ternyata kami sudah lelah berjalan kaki ditambah jarak mal ke hotel yang lumayan jauh. Tak berapa lama setelah saya memesan taksi di aplikasi Grab, mobil akhirnya datang menghampiri kami. Jalanan siang itu lumayan ramai. Kami yang sudah lelah tak banyak memperhatikan sekitar dan tak terasa kami sudah sampai di hotel lagi. Sambil menunggu Kak Sunny dan Pak Nuum menjemput, kami meluruskan kaki dan bersantai di sofa lobby.


Sepertinya saya jatuh cinta dengan donat ini











Sekitar pukul 15.30, seperti yang sudah dijanjikan, Kak Sunny memasuki lobby dan segera meminta kami membawa koper-koper dan tas kami untuk dimasukkan ke bagasi mobil van Pak Nuum. Kami harus sampai di bandara Don Mueang Bangkok tiga jam sebelum pesawat take off, yang artinya pukul 17.00 waktu setempat. Beruntung, karena sore itu langit mendung dan mulai gerimis, jalanan menuju bandara tak begitu ramai ataupun macet. Dan tak sampai satu jam kemudian, kami sudah mengantre di pintu keberangkatan untuk mencetak tiket pulang. Setelah berpamitan dan berfoto dengan Kak Sunny sebagai salam perpisahan, kami memasuki pintu keberangkatan dan menunggu pesawat kami datang di lobby tunggu. Tepat pukul 20.15, pesawat menuju Jakarta lepas landas meninggalkan negeri gajah putih. Benar-benar pengalaman pertama yang sulit dilupakan. Sampai jumpa di lain waktu, Thailand!

Bersama Kak Sunny!





Yogyakarta, 22 November 2022





Post a Comment

0 Comments