Voyage Chapter 35: Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng Memang Tak Bisa Dianggap Enteng

Saya mulai menyadari bahwa rezeki yang saya cari dari Tuhan tidak terbatas pada materi. Terlebih lagi, apa yang Tuhan berikan kepada kita seringkali berupa perihal non-materi. Saya menyadari hal itu selama beberapa minggu terakhir saat merenung memandang langit-langit di kamar. Beberapa minggu belakangan rasanya pikiran lelah sekali. Syukurlah, di tengah resesi jiwa ini, saya tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk menemui psikiater.

“Light in your mind is better than darkness in your soul.”  Matshona Dhliwayo

Pernah terpikir untuk mencoba memanfaatkan sistem kekebalan jiwa saya untuk mengatasi kelelahan tersebut. Saya tidak tahu dari mana teori ini berasal, namun saya yakin tubuh kita memiliki sistem kekebalan. Misalnya, ketika tubuh sedang demam, sebenarnya sistem kekebalan berusaha untuk menyembuhkan demam tersebut. Begitulah kiranya.

Saya pikir ini juga berlaku untuk kelelahan jiwa yang saya alami. Nyatanya, kita bisa mengobati tekanan emosional yang kita alami sendiri. Saya menamai sistem ini sebagai sistem kekebalan jiwa. Lalu, bagaimana cara saya mengaktifkan sistem kekebalan jiwa untuk mengatasi masalah ini? Saya punya cerita.

Awal bulan Mei lalu setelah libur lebaran yang cukup panjang, tepatnya di tanggal 1 Mei 2023, saya kembali ke gunung bersama rekan-rekan yang mengajak saya ke pendakian Gunung Kembang di bulan September tahun lalu. Kali ini, kami memilih Gunung Prau sebagai tujuan pendakian. Bukan karena sekadar cap-cip-cup. Sebenarnya tujuan pertama kami melakukan pendakian tahun lalu adalah di Gunung Prau ini. Namun melihat padatnya jalan menuju ke sana karena dibarengi dengan festival budaya di Dieng, kami mengurungkan niat, sebab pasti juga banyak pendaki yang akan bermalam di Gunung Prau.

Kembali ke gunung mungkin merupakan salah satu cara saya untuk mengatasi kelelahan jiwa yang saya jelaskan di awal cerita tadi. Entah mengapa, batin saya terasa nyaman ketika kaki ini melangkah jengkal demi jengkal menuju ke ketinggian. Walau raga sedikit letih jika tak dibersamai dengan sejenak perhentian dan seteguk air putih, mendaki gunung nyatanya membuat saya mampu memahami banyak hal yang sering kali tumpang-tindih.

Kami berangkat dari kantor di Jl. Demangan Baru sekitar pukul tiga sore setelah sebelumnya mempersiapkan barang-barang pribadi dan barang komunal seperti tenda, kompor, nisting, bahan makanan, dan lain sebagainya. Siang itu hujan cukup deras. Sebelumnya kami mengira hanya akan menghabiskan 3 atau 4 jam di perjalanan. Nyatanya, mungkin sampai 5 jam lebih yang kami habiskan di jalan yang hari itu ternyata lumayan ramai. Kami juga menyempatkan untuk makan malam di warung penyetan sebelum meneruskan perjalanan ke basecamp pendakian Patak Banteng.


Waktu menunjukkan pukul 20.41 WIB ketika mobil sampai di basecamp Patak Banteng. Sudah ada banyak sekali sepeda motor dan mobil pendaki lain yang terparkir di halaman basecamp. Kalau hanya seratus kendaraan mungkin ada. Tak heran, Gunung Prau merupakan salah satu gunung favorit bagi pendaki Indonesia, baik pendaki pemula atau yang sudah sangat terbiasa. 

Tak banyak babibu lagi, segera kami mengemas ulang barang bawaan kami sekaligus menunaikan kewajiban ibadah empat rakaat di basecamp. Air wudunya sungguh dingin. Tipikal air yang biasa ditemui di dataran tinggi seperti Dieng dan sekitarnya. Tapi kami harus tahan. Setelah mengurus registrasi di basecamp dan ini itu, tepat pukul 22.00 WIB kami memulai pendakian. 



Foto bareng full team sebelum mendaki
Foto bareng full team sebelum mendaki

Sebenarnya saya sangat tidak suka mendaki di malam hari. Selain karena raga sudah lelah, keterbatasan penglihatan dan juga udara yang lebih dingin terkadang menyulitkan pendakian, terlebih di jalur-jalur curam atau berbatu. Tak berbeda dengan malam itu. Walau jalurnya tidak securam Gunung Kembang, namun puncak terasa sangat jauh. Sudah sekitar dua jam kami mendaki dan masih belum ada tanda-tanda kami akan segera sampai. Hal berbeda yang sangat saya rasakan dibandingkan dengan pendakian di Gunung Kembang tahun lalu adalah pendakian di Prau malam itu terasa ramai. Sering sekali kami bertemu rombongan pendaki lain di setiap menuju atau meninggalkan pos. Kebanyakan adalah anak-anak muda yang notabene adalah mahasiswa yang masih menikmati liburan. Membarengi rombongan-rombongan ini entah mengapa membuat pendakian terasa tidak begitu melelahkan. Saya jadi merasa ada banyak rekan seperjuangan dalam menggapai puncak ketinggian. Haha. 

Di tengah pendakian, sekitar pukul 00.20 WIB tengah malam, laju langkah saya tiba-tiba menjadi lebih cepat dari teman-teman kelompok. Entah sudah berapa puluh meter saya mendahului mereka. Ada mungkin sekitar 5 atau 6 rombongan yang saya lewati. Saya ingin segera sampai ke Sunrise Camp dan segera merebahkan badan di dalam tenda. Mengantuk sekali rasanya malam itu.

Waktu menunjukkan pukul 01.09 WIB di jam tangan saya ketika saya berhasil menginjakkan kaki di Sunrise Camp. Sendirian. Kedinginan. Entah masih di ketinggian berapa teman-teman kelompok saya berjalan. Di Sunrise Camp sudah terlihat banyak tenda berdiri kokoh dengan lampu yang sedikit temaram namun suaranya masih riuh rendah, terdengar mereka yang masih sibuk merebus air atau sekadar bercengkerama memecah keheningan malam. Ingin rasanya bergabung dengan rombongan tenda-tenda itu untuk menghangatkan diri, namun ego saya masih tak dapat dikalahkan oleh dinginnya malam itu.



Self-contemplation

Jam segini baru sampai Sunrise Camp

Sambil menunggu teman-teman saya sampai ke Sunrise Camp, saya meletakkan tas carrier ke tanah dan bersandar di sebuah pohon dengan batang yang tak begitu besar. Nafas saya memburu. Kedua telapak tangan yang sedari tadi tertutup dua lapis sarung tangan tebal tetap saja terasa dingin. Menusuk tulang. Memang benar sepertinya ungkapan tersebut menggambarkan dingin yang saya rasakan. Gelap. Tak ada sumber kehangatan dan rasa kantukpun semakin tak tertahankan. Hingga sekitar setengah jam kemudian terdengar suara-suara yang memanggil saya dari balik kegelapan hutan. Akhirnya teman-teman saya sampai. Saya pastikan mereka baik-baik saja. Dan tak lama segera kami mencari tanah landai untuk mendirikan tenda. 

Mendirikan tenda di tengah malam bukanlah hal yang baru bagi kami. Saat pendakian di Gunung Kembang tahun lalu kami juga melakukan hal yang sama. Malam itu benar-benar dingin. Selain karena rasa kantuk, tangan kami yang rasanya hampir membeku mungkin jugalah yang membuat tenda kami malam itu lama berdiri kokoh. Dan setelah dua tenda berdiri, Mbak Ganggas segera menyiapkan kompor dan merebus air. Ia juga memasak mi rebus lengkap dengan sayur dan telur untuk kami yang kedinginan. Kekenyangan, kami pun tertidur lelap, walau suhu dingin tak juga pergi.

Mungkin hanya 2-3 jam kami bisa menikmati tidur. Karena tak lama kemudian, mentari sudah mulai nampak. Saya bangun sekitar pukul lima pagi dan segera menunaikan dua rakaat di dalam tenda. Mas Malik dan Mas Dhadha sudah di luar tenda sepertinya, sedangkan Mas Cahyo masih terlelap dalam tidurnya. Selesai salat, saya segera keluar dari tenda. Langit terlihat sungguh indah pagi itu. Nyala jingga terang dengan semburat awan dan latar belakang warna biru yang sedikit tertutup awan tipis sungguh membuat mata ini berhenti berkedip. Walau udara pagi masih cukup dingin, setidaknya cahaya matahari pagi sedikit memberi kehangatan. Dan tak lupa, segelas susu hangat ikut menemani saya mengabadikan momen sunrise itu. Masyaa Allah.

Golden sunrise



Tombo adhem

Karena kami sebenarnya belum mencapai puncak Gunung Prau, pagi itu segera saja saya iyakan ajakan Mas Dhadha untuk berjalan menuju puncak yang jalurnya berada di balik bukit yang kami singgahi. Berbekal susu hangat di dalam perut dan trekking pole, saya membuntuti enam teman saya berjalan menyusuri jalur menuju puncak Gunung Prau. Ada mungkin sekitar satu jam kami berjalan, dengan beberapa perhentian untuk mengambil foto tentunya, hingga akhirnya sampai di puncak Gunung Prau 2.590mdpl. Lelah kami terbayarkan dengan pemandangan hijau menghampar sejauh mata memandang. Desa-desa di sekitar Gunung Prau terlihat begitu kecil dan asri. 

Udara tak lagi begitu dingin karena matahari sudah cukup lama menyinari kami. Hingga akhirnya, perut saya berbunyi nyaring, pertanda rasa lapar sudah tak tertahankan. Pun dengan teman-teman yang lain. Segera setelah berfoto di puncak, kami memutuskan untuk kembali ke tenda di bukit seberang untuk menyiapkan sarapan. 

Sesampainya di area kemah, beberapa dari kami mulai membongkar tenda dan mengemasi barang, beberapa lainnya bertugas menyiapkan sarapan. Saya bersama Mbak Ganggas dan Teh Amal sudah menyiapkan bahan-bahannya sejak sebelum berangkat. Menu pagi itu adalah burger daging sapi dengan telur mata sapi dan keju. Pattynya kami buat sendiri sehari sebelumnya dengan mencampurkan daging sapi giling, tepung, dan beberapa bumbu lainnya. Kami juga menyiapkan kentang panggang dan beberapa buah potong sebagai pelengkap sarapan bergizi kami. Segera setelah saya membuat segelas milo panas, sarapan pun dimulai. 


Sabana di sana cantik banget, ya?

Lebih cantik sabana atau trio ini?


Chef GGZ in action

Breakfast is ready!



On our way home

Seru sekali perjamuan pagi itu. Sarapan kami dibumbui dengan cerita-cerita seru saat pendakian semalam, tentang pemberhentian dadakan karena Mas Cahyo tertidur pulas di trek, tentang jalur berlumpur yang mengotori sepatu kami di Pos 4 Plawangan, tentang ngerinya “toilet alam” di semak belukar dan pepohonan sekitar area camp, tentang menghargai sebuah perjalanan. Hangat, sama seperti seduhan milo tanpa gula di cangkir saya. Saya sudah merindukan saat-saat seperti ini. Hingga akhirnya tak terasa perut kami kenyang. Sejurus kemudian, kami memberesi peralatan masak dan alat makan untuk melakukan pengemasan barang terakhir sebelum turun gunung. Satu lagi pengalaman mengobati kelelahan jiwa yang saya rasa cukup mengesankan. Sampai jumpa di lain waktu, Prau!


Yogyakarta, 26 Juli 2023



Post a Comment

0 Comments