My PPG Story: Bela Negara – NKRI (Masih) Harga Mati

Di postingan kali ini, saya ingin bercerita mengenai pengalaman seru dan berharga yang sempat saya alami saat menjalani kuliah profesi tahun ini. Cerita seru tentang apa sih? Silakan lanjutkan membaca.

"Tidaaaak kembali pulaaang, sebelum kita yang menaaang."

Nyanyian lantang satu barisan tentara muda yang sedang berlatih rutin sore itu menarik perhatian saya. Sudah kurang lebih 8 putaran mereka berlari mengitari lapangan tanpa henti. Volume suara mereka tak juga berkurang, bahkan semakin lantang. Hebat. Hari itu, Sabtu, 5 Mei 2018 adalah hari pertama saya mengikuti kegiatan bela negara yang diselenggarakan di Komplek Militer Akademi Angkatan Udara milik TNI AU Yogyakarta. Bela negara? Benar, sebagai mahasiswa Pendidikan Profesi Guru adalah wajib hukumnya mengikuti kegiatan macam wajib militer ini. Kalau ditanya alasannya saya ikut ini sih, yah semata karena memang bela negara ini masuk rangkaian kegiatan perkuliahan dalam kuliah profesi. Wajib ditempuh pula. Mana mungkin sukarela ikut beginian kan? 😊

Bela negara, menurut para pejabat PPG, bertujuan agar calon guru yang notabene dianggap “profesional” setelah lulus PPG nanti mampu memiliki nasionalisme tinggi dan rasa cinta tanah air yang kuat, serta selanjutnya mau mengabdikan diri sebagai penyokong pendidikan di negeri yang berjiwa besar ini. Mungkin biar tidak melulu berorientasi pada upah yang minimum itu, namun juga fokus pada pengabdian agar negeri ini tetap merdeka dalam artian “tidak terjajah di segala bidang”. Masuk akal sih. Bela negara juga diwajibkan kok untuk para peserta SM3T yang terdahulu, namun berbeda nama, yaitu Prakondisi, yang tujuannya adalah mempersiapkan mental dan bekal para peserta untuk menghadapi kondisi di daerah 3T penempatan yang ekstrim nantinya. Bedanya lagi nih, kalau bela negara hanya 2 hari, prakondisi bisa lebih dari dua minggu. Untung gak jadi ikut SM3T.

Beginning
Pagi itu, sekitar pukul 05.30 WIB. Para mahasiswa PPG Prajabatan Bersubsidi 2017 dan PPG SM3T VI sudah rapi berbaris di halaman rektorat Universitas Negeri Yogyakarta (dan UNY kampus Wates dan Bantul) untuk menunggu jemputan bis dari AAU Yogyakarta. Hari itu, kami diwajibkan membawa barang-barang dan perlengkapan yang akan digunakan selama 2 hari berikutnya. “Secukupnya saja.” ujar salah satu anggota TNI AU yang beberapa hari sebelumnya memberikan pengarahan. Saya ingat, saya kemarin membawa pakaian lebih dari “Secukupnya saja.”, yang jelas ada dua set pakaian putih hitam, jaket, kaos lengan pendek, celana pendek, sepatu kets, satu set pakaian training pribadi, jas hujan, sandal, alat mandi dan sarung. Lumayan berat memang tas carrier bawaan saya saat itu (yang kemudian saya mulai paham bahwa sebenarnya membawa satu set pakaian putih hitam dan training saja memang sudah cukup). 

Sekitar pukul 06.00 WIB rombongan bus AAU beserta mobil pengangkut tentara sudah siap di halaman rektorat. Senyum mencurigakan beberapa personil TNI yang kemudian berubah menjadi teriakan-teriakan agar kami segera merapikan barisan dan masuk ke bus mulai terdengar menggelegar. Modar ki aku.

Sesampainya di AAU, kami dibagi menjadi beberapa kelompok barisan berdasarkan kompi. Jadi, ada 4 kompi untuk total 615 peserta. Satu kompi isinya kurang lebih ada 150 orang dan dibagi lagi menjadi 3 pleton yang berisi sekitar 50 mahasiswa dari berbagai jurusan di PPG UNY. Tujuannya apa? Agar saat kegiatan yang mewajibkan seluruh peserta hadir, pembagian kelompoknya mudah dan mengaturnya juga gampang. Saya masuk kompi B pleton III, dengan identitas kalung warna kuning cerah. Tiga kompi lainnya menggunakan warna merah tua, hijau lumut, dan biru dongker. Hogwarts folks! I’m a true Hufflepuff I guess.

Can you find me? I'm there, smiling widely.

Setelah pengkondisian dan pembagian kamar, kami harus segera berjalan kaki menuju Gedung Sabang-Merauke (yang jaraknya dari mess juga seperti Sabang hingga Merauke alias jauh banget) untuk mengikuti pembukaan kegiatan bela negara dan seminar materi tentang Pilar Negara dan Ketahanan Negara. Ah iya, Komplek Militer AAU Yogyakarta itu luaaaaaas sekali. Hanya untuk berpindah gedung satu dengan yang lainnya saja butuh sekian 10 menit jalan kaki (jalan kaki harus dalam satu pleton dan rapi) atau lari dibawah sengatan matahari, tak heran banyak dari kami yang menjadi eksotis sepulangnya dari AAU.

“Abis liburan musim panas di Hawaii, Ras?”
“Bngst 😤

Ditambah lagi, ada kegiatan Pelatihan Baris Berbaris di mana kami menjadi layaknya ikan asin yang harus berbaris rapi, dijemur di teriknya matahari pukul 9 pagi sampai tengah hari. Ada hal istimewa juga di sini. Setelah kegiatan baris berbaris tengah hari selesai, kami diberikan minum air putih. Kok air putih istimewa? Iya, istimewa karena air putihnya hangat di saat matahari sedang terik-teriknya, air hangat itu ditaruh di ember ukuran 20 liter, dan minumnya pake gayung plastik, satu gayung untuk minum bergantian. Bayangkan sendiri ya rasanya seperti apa. Yah, daripada kehausan dan dehidrasi sih, saya tetap minum.

Udah mirip tentara deh kalau kompak begini

Terik matahari  bukan masalaaaaah..


Dihukum push-up? Sudah biasaaa..

Di sini, banyak sekali kegiatan yang harus diikuti. Sekadar mengintip jadwal atau rundownnya saja sudah bikin pusing. Hampir tidak ada istirahat, gila sih ini. Tapi ya as long as we’re together, no problem lah. Ciaat. Dijalani aja jangan sampai semaput, repot sendiri nanti.

Meal Time?
Hal pertama yang lumayan bikin syok setelah seminar di pembukaan adalah makan snack yang dilaksanakan pukul 09.00 WIB. Makan snack aja bikin syok? Hehe iya. Sekadar informasi, di tempat ini makanan jadi hilang kenikmatannya wahai sobat anxiety. Yang penting perut terganjal deh, bersyukur banget.

(duduk sikap sempurna, dada tegap, tangan pegang kotak snack, pandangan lurus ke depan)
“Kotak jangan dibuka dulu sebelum aba-aba!!”
“Sekarang ambil arem-aremnya, angkat tinggi-tinggi!!!”
“Habiskan dalam 10 detik! Jangan lelet!”
“Mau makan tahunya dulu atau cabenya dulu!?? Tidak boleh bareng!”
“Minuman harus habis dalam 5 detik, nggak usah pake sedotan!!”

Awalnya saya kira cuma makan snack saja yang bakal se-nerve-wrecking ini. Ternyata salah. Makan siang lebih bikin mengelus dada lagi (literally). Porsi yang diberikan sih tidak kurang, lebih banyak malah, sekitar tiga centong nasi dalam satu piring, ah bukan piring namanya, tapi ompreng. Menunya juga bisa dibilang manusiawi kok, sayur banyak dan variatif, lauk gurih nan lezat, hanya saja cara makannya saja yang terbilang agak... sadis. Opini salah satu teman senior saya seperti ini nih:

“Rasanya pengen skip tiga kali jatah makan. Nasinya segambreng, kadang ada kuah air minum masuk nasi biar gak seret, kadang semangka jadi lauk biar seger, plus muka melas. Perfect! Maka kumatlah maag dan asam lambung karena sistem makan yang jauh berbeda dari biasanya.” 

Benar, aturan ini diterapkan di setiap sesi makan: pagi, siang, dan malam. Tanpa terkecuali. Untuk saya yang cara makannya terbiasa cepat sih tidak begitu masalah, nah untuk mereka yang waktu makan saja bisa membuat musim berganti ya wassalam. Bakalan trauma pasti di setiap sesi makan. Hahaha. Bagaimana tidak, untuk porsi makan yang begitu besar kami hanya diberikan waktu 5 menit untuk menghabiskan semuanya. Harus tanpa sisa. Kalau tidak bisa habis, temannya di kanan kiri harus ikut bantu menghabiskan atau satu pleton akan dihukum semua. Kalau merasa cara makannya lambat, coba duduk di samping teman yang makannya cepat, berlaku pula sebaliknya. Help each other. They called this a wonderful meal time, but I hate watching my friends being food-tortured.

Barisan peserta bersama ompreng kesayangan

Makan bareng lebih nikmat!
Caraka Malam
Banyak kegiatan ala militer yang kami jalani selama dua hari tersebut, yang tentu saja menguras fisik dan mental. Banyak yang mengeluh badannya sakit semua di malam harinya. Beruntunglah mereka yang membawa koyo dan balsem. They do help a lot. Di sini, waktu untuk tidur malam sepertinya menjadi sangat berharga bagi kami. Mandi? Jangan harap bisa lama dan bersih, antreannya saja lumayan panjang. Banyak kok di antara kami yang malamnya tidak sempat mandi (bodo amaat) dan lebih memilih tidur, tapi kami tetap mandi sebelum solat Subuh. Kegiatan hari pertama saja selesai setelah tengah malam, sekitar pukul 01.00 WIB. Kegiatan terakhir sebelum tidur hari pertama adalah caraka malam dan renungan.

Oh iya, saya ingin sedikit bercerita tentang caraka ini. Caraka sebenarnya adalah kegiatan yang menurut saya paling berkesan. Kata kakak angkatan sih caraka itu jurit malam, maksudnya bakalan ditakut-takutin gitu. Tapi ternyata bukan, caraka ini pelaksanaannya memang mirip jurit malam, tapi tujuannya adalah untuk menyelesaikan misi. Misinya adalah menjaga rahasia (kalau tidak salah namanya seperti ini). Jadi, musuh-musuh yang ditemui di perjalanan tidak boleh tahu sandi-sandi rahasia yang sudah diberikan kepada kita. Nah misinya adalah bersama 4 orang lainnya (putra putri dicampur) harus selamat menuju ke tempat yang sudah diberitahukan oleh atasan (dalam hal ini anggota TNI AU). Tantangannya adalah... tengah malam. Sekitar pukul 23.00 WIB tiap kelompok diharuskan melewati luasnya kebun tebu gelap yang tinggi tiap pohonnya saja bisa lebih dari 3 meter, kemudian masuk ke semacam hutan tanpa penerangan yang naudzubillah panjang banget jalannya. Kanan kiri pepohonan semua dan tidak ada lampu, ah elah. Hawa dingin sudah seperti teman akrab karena malam itu angin bertiup lumayan kencang. Di setiap pos nanti, kami harus menjawab sandi yang diberikan oleh petugas untuk bisa melanjutkan perjalanan. Ada sekitar 8 pos kalau tidak salah. Dan jarak antar kelompok memang lumayan jauh, jadi ya seakan-akan kita hanya berlima di tempat yang luasnya melebihi lapangan golf itu.

Sesaat sebelum caraka
Mengakhiri renungan malam

Ada hal lucu yang saya alami saat caraka. Jadi awalnya tim saya berjumlah 5 orang, 2 putra dan 3 putri. Namun di awal misi, teman saya (putra) harus berhenti di pos pertama karena sakit. Jadilah saya menjadi satu-satunya peserta putra yang ditemani tiga orang peserta putri. Perjalanan di kebun tebu sih masih aman-aman saja karena bulan bersinar terang di atas kami. Mereka bertiga berjalan beriringan dan saya menjaga di belakang. Tiba saatnya kami harus memasuki hutan yang sangat gelap, tiba-tiba dua orang dari mereka berceletuk:

“Mas, saya digandeng dong, gak keliatan apa-apa nih saya takut.”
“Lah saya juga ya, Mas. Ini kok hutannya gelap banget sih. Saya gak bisa liat jalan.”
“Oh iya, gak apa-apa, Mbak.” (terus gandengan kanan kiri dong, lol)

In The End
Yang paling berkesan menurut saya sih tiga hal di atas tadi ya. Namun sebenarnnya terkait bela negara ini masih banyak hal yang ingin saya ceritakan lagi. Karena memang banyak sekali kegiatan kami di sana.

Ada kegiatan istimewa lagi di hari terakhir, yaitu semacam permainan psikomotor untuk kelompok, dan masih di tengah lapangan yang terik. Banyak aktivitas yang harus dilakukan secara berkelompok, masing-masing kelompok berisi satu kompi. Aktivitasnya antara lain permainan memindahkan hula hoop, menyusun menara sepatu, lomba yel-yel, dan masih banyak lagi. Intinya adalah melatih kekompakan tim dan juga gerak tubuh masing-masing. Masih dengan cara minum yang sama seperti kegiatan lapangan sebelumnya. Kami sudah mulai terbiasa barbaric.

Melingkar dalam satu kompi

 


Kompi B!

Saksi bisu


Yah, walaupun hanya dua hari kami di-gembleng secara militer, menurut saya kegiatan ini akan menjadi pengalaman yang amat berharga dan mustahil dilupakan. Saya banyak mendapatkan materi mengenai kebangsaan, pertahanan negara, ideologi, dan banyak ilmu berharga lainnya. Pun dengan teman dan kenalan baru, senasib sepenanggungan katanya. Kalau ditanya mau lagi atau nggak sih, hmm.. Nggak.

Jika cerita saya di atas tadi dianggap terlalu berlebihan, cobalah alami sendiri kegiatan bela negara ini lalu ceritakan kembali pada saya. Hahaha. Terima kasih AAU, Terima kasih Pelatih!



Yogyakarta, 19 Mei 2018
Bersambung...

Post a Comment

0 Comments