Voyage Chapter 39: Tiga Hari Keliling Vietnam Kurang Lama Nggak, Sih?

Dalam benak pemikiran ketika saya kecil dulu, negara-negara di dunia rasanya jauh sekali jaraknya dari tempat saya tinggal. Sedikit cerita, saat masih berusia 10 tahun, saya sangat menggemari belajar geografi terutama negara-negara di dunia. Mulai dari namanya, warna benderanya, ibukotanya, makanan khasnya, serta tempat-tempat populer yang ada di dalamnya. Banyak sekali yang saya pelajari dan hapalkan. Mungkin dari kebiasaan ini pula, ketika saya dewasa mulai terbesit keinginan untuk mengunjungi negara-negara yang dulu hanya bisa saya temui di buku atlas maupun peta dunia. Yah, walaupun mungkin hanya satu negara baru dalam satu tahun, perlahan mimpi berkeliling dunia itu mulai satu demi satu saya wujudkan.

“To move, to breathe, to fly, to float, to gain all while you give, to roam the roads of lands remote, to travel is to live.” ― Hans Christian Andersen

Seperti di cerita kali ini. Di awal tahun 2024 ini, tepatnya di tanggal 23 sampai 26 Februari kemarin saya berhasil menginjakkan kaki di negara yang berbatasan langsung dengan negeri tirai bambu, Tiongkok dan juga negeri tanah terkunci, Laos. Benar, Vietnam adalah negara ASEAN keempat yang berhasil saya kunjungi hingga saat ini. Mengapa tahun ini saya memilih untuk mengunjungi Vietnam? Hmm. Sebenarnya saya sudah merencanakan untuk mengunjungi negara ini di awal tahun 2023 lalu, namun karena terhalang satu hal dan lainnya, akhirnya saya tunda hingga setahun setelahnya.

Hari Pertama

Pagi itu sekitar pukul 06.30 WIB, saya dan Mbak Elisa sudah duduk manis di kursi kereta yang sedang membawa kami ke Yogyakarta International Airport. Maskapai yang akan membawa kami berangkat ke Vietnam adalah Scoot, yang terkenal dengan aircraftnya yang memiliki dekorasi berwarna dominan kuning cerah. Saya dan Mbak Elisa juga baru kali ini naik Scoot, sepertinya kami lebih sering naik AirAsia untuk perjalanan ke luar negeri. Scoot terdengar menarik. Sesampainya di bandara, kami segera menuju check-in counter untuk mencetak boarding pass dan berjalan santai menuju immigration check lalu ke ruang tunggu keberangkatan internasional. Ruang tunggu terminal pagi itu cukup lengang. Ada banyak kursi kosong yang tak berpenghuni. Mungkin memang kami yang terlalu pagi, sih. Masih ada waktu yang cukup lama bagi kami menunggu pesawat datang. Menghabiskan waktu di ruang tunggu di departure terminal sambil menikmati jajanan atau sekadar berfoto selfie sudah menjadi kebiasaan saya dan Mbak Elisa setiap kali kami melancong jauh. Rasa menggebu tak sabar ingin berjumpa dengan petugas imigrasi bandara tujuan untuk membubuhkan cap basah di paspor kami sepertinya memang harus kami redam dengan mengunyah cemilan dan bercengkerama yang tak jelas. Haha.

Setelah kurang lebih dua jam menunggu, akhirnya pesawat berwarna kuning cerah itu mulai menampakkan wujudnya. Dan terparkirnya pesawat di terminal keberangkatan kami adalah pertanda bahwa waktu boarding sebentar lagi akan dibuka. Saya dan Mbak Elisa segera beranjak dari kursi tunggu, mengemasi tas dan koper kami, dan segera mengantre untuk boarding. Selain pesawatnya yang bercorak warna kuning, beberapa hal berwarna kuning juga kami temui di dalam pesawat milik Scoot ini, seperti buku menu, kantong kertas (untuk penumpang yang mabuk kendaraan), maupun alas penutup sandaran kursi. Menarik sekali.

Masih muka bantal



Kurang lebih satu setengah jam pesawat mengudara hingga akhirnya memelankan lajunya dan mendarat di bandara. Sudah sampai Vietnam? Tentu bukan, kami harus transit dahulu di Singapura selama sekitar tiga jam dan menaiki pesawat menuju bandara di Vietnam pada sekitar pukul tiga sore. Changi International Airport siang itu cukup ramai, mungkin karena sudah memasuki akhir pekan juga. Tiga jam menunggu. Saya harus ngapain, nih? Tentu saja saya langsung menarik tangan Mbak Elisa untuk berkeliling beberapa terminal yang pastinya masih berada di dalam bandara tersibuk di dunia ini. Merekam video untuk konten, berfoto di beberapa sudut bandara, menikmati keripik kentang dan wafer coklat karamel yang saya bawa di tas, serta mencoba minum dari drinking water fountain yang banyak dijumpai di sudut bandara. Terlalu asyik berkeliling, hingga kami tak menyadari ada pemberitahuan perubahan pintu keberangkatan pesawat kami yang semula di Gate C18 menjadi Gate D40 yang jaraknya sangat jauuuh. Jadilah kami berlarian membawa troli koper dan tergopoh-gopoh mencari Gate D40 yang entah di mana letaknya. Untungnya terkejar. Sekitar pukul 16.00 waktu Singapura kami terbang meninggalkan Changi.

Membutuhkan waktu sekitar dua jam lebih untuk pesawat kami melintasi langit dan mendarat di Tân Sơn Nhất International Airport di Hồ Chí Minh City, Vietnam. Jam tangan menunjukkan pukul 17.40 saat kami berjalan depan belakang dengan semburat cahaya matahari terbenam menuju loket immigration check. Rasanya sudah sangat lelah, tapi kami harus kuat di belakang antrean yang sore itu mengular sangat panjang. Tiba giliran saya, seorang petugas imigrasi laki-laki yang mungkin juga sama lelahnya hanya tersenyum kecil menerima paspor saya, tanpa perlu saling memandang mata. Sejurus kemudian, dia membolak-balikkan halaman-halaman depan yang sudah berisi cap dari imigrasi beberapa negara lain, lalu dengan sigap membubuhkan cap berwarna biru laut dengan gambar pesawat kecil yang bertuliskan ‘Viet Nam Immigration’ tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Asyik, saya boleh masuk ke Vietnam tanpa interview panjang lebar, nih! Hahaha.

Ngos-ngosan sampai di Gate D40 ini

Matahari terbenam di langit Vietnam


Setelah keluar dari bandara, kami lalu menaiki bus yang akan membawa kami ke hotel, namun akan berhenti dulu di Ben Thanh Market agar kami bisa sekadar mengisi perut dengan makan malam yang entah berbentuk apa. Melihat pemandangan jalanan Kota Hồ Chí Minh kala malam hari mengingatkan saya akan Kota Bangkok. Ada banyak sekali pengendara motor (yang mengenakan helm gayung) namun tetap berkendara secara hati-hati. Juga terdapat banyak kedai makanan di pinggir jalan yang entah mengapa makanannya terlihat sangat menggugah selera. 

Tak lama, bus berhenti di Pasar Bến Thành dan kami segera turun. Pasar ini cukup besar dan luas, walau pasar di dalam bangunan utamanya sudah tutup, masih ada banyak pedagang di area luar pasar. Saya dan Mbak Elisa berkeliling untuk mencari makanan apa yang akan kami santap malam itu. Karena tenggorokan terasa sangat kering, kami mampir sebentar ke kedai jus tak jauh dari lokasi bus kami berhenti. Mbak Elisa memesan jus semangka (VND40.000) dan saya memesan jus mangga (VND50.000). Tak disangka, jus mangga yang saya dapatkan ternyata berukuran besar dan rasanya sangat enak, tidak terlalu manis namun mangganya sangat wangi, mirip seperti mangga yang pernah saya makan di Pattaya dua tahun silam. Cukup pantas untuk segelas besar jus dengan harga sekitar Rp37.000. Berbekal jus semangka di genggaman tangan, Mbak Elisa berhenti di sebuah kedai yang menjajakan makanan berbahan utama babi dan segera memesan nasi campur yang disajikan dengan steak babi dan beberapa lauk pelengkap lainnya. Saya hanya duduk melihatnya melahap suap demi suap menu yang bagi saya haram tersebut. Tentu dengan perut yang mulai keroncongan. Tak lama, piring Mbak Elisa sudah terlihat kosong.

Dan setelah berkeliling mencari makanan halal (yang benar-benar susah saya temui di sana), kami berhenti di sebuah kedai kecil yang menjual bánh ướt vegan alias tanpa bahan-bahan hewani. Yah, setidaknya meminimalisir aspek haram dari makanan yang akan masuk ke perut saya, walau di kedainya belum ada sertifikasi halal. Sekian detik setelah saya memesan, sang penjual segera meracik masakannya. Bánh ướt yang harganya VND30.000 sebenarnya cukup sederhana, satu porsinya berisi mi pipih berwarna putih semacam kwetiau, yang diberi pelengkap seperti tahu goreng kering, irisan timun, tauge, serta daun kemangi yang entah mengapa aromanya berbeda dengan kemangi yang sering saya jumpai di Indonesia. Tak lupa sang penjual melengkapi dengan semangkuk kecil kecap asin Vietnam dengan kacang tanah yang ditumbuk kasar serta semangkuk kecil cabai rawit yang diiris halus. Sebenarnya saya bingung teknik makannya bagaimana, apakah saya harus menuangkan kecap asinnya ke mangkuk, atau mengambil mi dan pelengkapnya dengan sumpit lalu mencelupkannya ke kecap asin? Ingin tanya ke penjualnya juga sulit, saya tak bisa berbahasa Vietnam, pun beliau tak bisa berbahasa Inggris. Bodo amat lah, saya segera berdoa dan melahap makanan pertama saya di negeri asing ini dengan teknik apapun itu. Entah mengapa, mi yang saya lahap terasa nikmat walau rasanya sangat sederhana, hanya asin gurih dilengkapi krenyes-krenyes sayuran segar. Tak sampai sepuluh menit, mangkuk saya kosong. Alhamdulillah, kenyang! Bus kemudian membawa kami menuju The Jade Hotel yang terletak tak jauh dari pusat kota. Setelah check-in menggunakan paspor dan mendapat kunci, secepat kilat saya menuju kamar untuk segera membersihkan diri dan berganti pakaian. Hari pertama di Vietnam sungguh melelahkan. Saya tertidur pulas malam itu.


Lumayan enak laaah~

Hari Kedua

Alarm di ponsel saya mulai berdering nyaring. Pertanda saya harus segera bangun untuk bersujud di waktu Subuh. Dan karena bus baru akan menjemput kami sekitar pukul 07.30 waktu setempat, saya tak lantas mandi. Beberapa pesan di WhatsApp maupun direct message di Instagram baru sempat saya balas pagi itu. Senang rasanya banyak pertanyaan dari teman-teman yang terlontar seputar perjalanan ini karena memang saya selalu merahasiakan kala saya melancong cukup jauh. Belajar dari pengalaman di masa lalu, jika saya mengumbar rencana perjalanan saya pada teman-teman, acapkali perjalanan tersebut malah gagal terlaksana atau berjalan tak semulus yang diharapkan. Itulah mengapa mereka selalu bertanya-tanya bagaimana saya tiba-tiba sudah di negeri orang, padahal perjalanan tersebut selalu saya siapkan 3-4 bulan sebelum keberangkatan.

Setelah selesai mandi dan berpakaian, saya mengemasi beberapa barang bawaan ke dalam ransel kecil yang akan saya gendong sepanjang hari kedua di Vietnam. Tak banyak barang yang saya masukkan, antara lain: dompet, charger ponsel, powerbank, baju ganti, sisir, dan permen. Dengan ponsel di saku celana dan kacamata hitam menggantung di muka, saya segera bergegas keluar dari hotel karena bus sudah menunggu.

Agenda kami di hari itu adalah mengunjungi distrik Mỹ Tho untuk menjelajah pulau dan berinteraksi dengan penduduk asli di sana. Sekitar satu jem lebih waktu yang ditempuh dari pusat Kota Hồ Chí Minh hingga akhirnya kami sampai di pinggir Sungai Mekong, tepatnya di area Tien Giang Tourism Development Center. Setelah beberapa menit menunggu di dek, perahu kami akhirnya datang. Kursi-kursi di dalam perahu berwarna biru berukuran cukup besar yang bisa memuat sekitar 40 orang tersebut mulai dipenuhi oleh rombongan turis. Tak lama, perahu segera bergerak pelan menyeberangi sungai terbesar di Vietnam ini dan memantapkan lajunya menuju Pulau Thới Sơn. Angin bertiup cukup kencang pagi itu. Suara desir air sungai yang beradu dengan badan perahu yang menimbulkan cipratan air laksana gerimis kecil membuat kantuk saya makin menjadi. Sepertinya tidur semalam masih belum cukup untuk memulihkan tenaga saya.


Sekitar 20 menit kapal melaju di atas sungai hingga akhirnya mendarat di bibir Pulau Thới Sơn. Rombongan penumpang berjalan melewati kebun berisi banyak pohon buah-buahan besar dan disambut oleh beberapa penduduk asli yang sudah bersiap di sebuah saung besar di tengah kebun. Pulau Thới Sơn memang terkenal dengan produk asli pulaunya, antara lain: madu murni dari lebah yang diternakkan sendiri, beberapa jenis buah-buahan tropis yang dibudidayakan oleh penduduk, juga beberapa macam camilan berbahan dasar buah-buahan. Setelah duduk di meja yang memang sudah ditata untuk turis, beberapa wanita paruh baya mulai menyiapkan gelas-gelas kosong dan sendok kecil di hadapan kami, diikuti dengan sepiring kecil irisan jahe yang dibuat manisan kering dan keripik pisang. 

Seorang pria paruh baya mulai menuangkan beberapa sendok madu murni ke dalam gelas-gelas tersebut. Dengan gerak cekatan, pria tersebut lantas memeras irisan jeruk nipis dan menuangkan air hangat ke dalam gelas tadi. Kemudian, kami diminta mengambil satu gelas dan mengaduk sendiri. Siang itu cukup panas, segelas air jeruk nipis hangat dengan madu asli pulau ini rupanya sedikit membantu membasahi kerongkongan kami. Dan sebelum kami sempat meneguk habis isi gelas kami, seorang wanita muda mulai mendatangi meja kami dan menjelaskan bagaimana madu tersebut dipanen secara tradisional dan mulai menawarkan beberapa botol ke meja kami. Wanita tersebut juga menawarkan manisan jahe dan keripik pisang yang sempat kami habiskan tadi. Karena saya cukup jatuh cinta dengan manisan jahe itu, segera saya meraih dua bungkus dan mengulurkan dua lembar uang VND50.000 kepadanya. Lumayan bisa menjadi oleh-oleh untuk mama di rumah yang sangat suka jahe.

Setelah selesai dengan destinasi pertama di pulau ini, kami segera berjalan meninggalkan saung tersebut. Setelahnya, kami harus menaiki semacam angkutan khusus yang merupakan modifikasi dari sepeda motor dengan tambahan kursi penumpang dan atap yang bisa memuat kurang lebih 8-9 penumpang. Angkutan tersebut melaju cepat menuju destinasi selanjutnya yaitu kios camilan berbahan dasar kelapa yang memang sangat melimpah ditemui di pulau tersebut. Lokasinya cukup jauh dari saung tadi, mungkin sekitar 10 menit berkendara. Setelah turun dan mencicipi beberapa jenis camilan kering khas di sana, kami bergegas berjalan menuju salah satu tempat tak jauh dari kios tadi. Di tempat ini, kami disuguhi beberapa potong buah segar asli pulau ini seperti jeruk pomelo, semangka, jambu biji, buah naga, dan nanas. Buah-buahan tersebut diiris cukup besar dan disajikan di piring-piring tersendiri, lengkap dengan garam cabai tersaji di piring kecil. Satu meja di tempat ini bisa diisi oleh 7-8 orang dengan porsi buah-buahan yang menyesuaikan. Pramusaji kemudian menuangkan teh tawar hangat ke cangkir kami. Tiga kipas angin yang berdiri kokoh di beberapa sudut mulai berputar kencang untuk menghalau cuaca terik siang itu. Sambil menikmati segarnya buah-buahan di hadapan kami, beberapa penyanyi wanita berbusana gaun panjang berwarna kuning mulai unjuk kebolehan mendendangkan lagu yang kami tak paham liriknya. Syahdu sekali siang itu. Rasanya ingin berada di tempat ini saja seharian itu. 

Tak berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kami menghabiskan hidangan buah-buahan segar tadi. Sejurus kemudian, kami sudah berjalan pelan beriringan menuju ke arah sungai yang tak jauh dari sana. Sungai? Ya, akhirnya kami sampai di atraksi utama yang disajikan oleh pariwisata lokal milik Pulau Thới Sơn ini. Di salah satu turunan menuju sungai sudah berbaris beberapa sampan ramping yang akan kami tumpangi. Satu sampan hanya bisa ditumpangi oleh lima orang dewasa termasuk sang pendayung yang semuanya adalah warga asli pulau. 

Kebetulan saya satu sampan dengan Hui, tour guide yang menemani kami sejak hari pertama. Walau tak bisa berbahasa Indonesia, kemampuan berbahasa Inggris Hui termasuk cukup fasih. Jadilah saya mengajaknya ngobrol sepanjang sampan didayung menuju ke hilir sungai yang langsung mengarah ke sungai besar. Saya bertanya banyak hal pada Hui. Misalnya tentang mengapa banyak orang Vietnam terutama anak mudanya yang tidak bisa berbahasa Inggris, ternyata hal ini disebabkan oleh kurikulum sekolah di Vietnam yang menjadikan Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran bahasa pilihan, bersama dengan Bahasa Tiongkok. Ia juga menambahkan bahwa sebagian besar siswa di Vietnam lebih memilih belajar Bahasa Tiongkok karena mereka percaya bahasa tersebut akan lebih menguntungkan mereka ketika sudah bekerja nanti. Masuk akal juga, sih. Saya juga sempat bertanya mengenai berapa upah para pendayung di pulau ini yang dari fisiknya sudah tak kelihatan muda lagi (saya menebak VND100.000 atau sekitar Rp75.000). Hui menjelaskan bahwa semua pendayung adalah warga asli yang membesarkan wisata di pulau ini, sehingga untuk upah mendayung mereka tidak berani mematok tinggi, per orang hanya mendapatkan VND15.000 atau sekitar Rp12.000 untuk mendayung sampan bolak-balik di bawah sinar terik matahari dari titik awal ke titik akhir yang jaraknya sekitar lima kilometer. Mata saya terbelalak kaget. Namun Hui buru-buru menambahkan bahwa biasanya turis-turis yang menaiki sampan-sampan ini selalu memberi tip yang lumayan kepada para pendayung. Dengan itulah sepertinya sektor wisata di pulau ini tetap bertahan dan semakin banyak peminatnya. Yah, walau menurut saya upah segitu terlalu kecil, sih. Lima kilometer, bro!


Saya dan Hui (belakang) di atas sampan

Perjalanan naik sampan berakhir ketika kami sampai di titik akhir yang merupakan sungai besar yang kami seberangi tadi pagi. Setelah membayar dan memberi uang tip, kami turun dari sampan dan segera berkumpul di dekat perahu biru yang sudah menepi sedari tadi. Dan setelah semua rombongan lengkap, kami menaiki perahu tersebut dan kembali menyeberangi sungai pertanda tur kami di Pulau Thới Sơn ini telah tuntas.

Setelah menikmati makan siang tak jauh dari lokasi, bus kembali berjalan pelan di jalanan besar Distrik Mỹ Tho  untuk menuju ke destinasi selanjutnya. Di jalan, kami berhenti sejenak di salah satu masjid bernama Jamia Mosquee Musulmane yang berada di distrik ini untuk menunaikan salat Zuhur dan Asar. Unik rasanya menjadi seorang muslim di negara yang 52.8% dari penduduk religiusnya adalah pemeluk agama Buddha, dan 73% total penduduknya memeluk agama tradisi/folk religion (sumber: https://www.state.gov/). Sulit sekali menemukan masjid besar di kota ini. Tak lama, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. 

Adalah Pagoda Vĩnh Tràng yang berada di Jalan Nguyen Trung Truc, Distrik Mỹ Tho, Provinsi Tien Giang. Pagoda ini memiliki sejarah konstruksi yang mengalami banyak pasang surut dan telah mengalami perubahan dan peremajaan. Tentang sejarah terbentuknya, diketahui bahwa pagoda ini dibangun oleh pasangan Tri dari Distrik Bui Cong Dat pada masa Minh Mang, awal abad ke-19. Awalnya, pagoda ini hanya berupa ruang lokakarya yang berfungsi sebagai tempat praktik pada masa pensiun pasangan ini. Pada tahun 1894, Yang Mulia Thich Hue Dang di Pagoda Giac Lam ditunjuk menjadi kepala biara. Kemudian, ia mengatur pembangunan kembali pagoda dengan membawa tanah untuk membangun pondasi dengan bantuan teman-temannya. Akhirnya tempat ini menjadi kuil besar dan diberi nama Pagoda Vĩnh Trường. Orang-orang sering menyebutnya Pagoda Vĩnh Tràng. Menurut pengamatan saya, tempat ini terlihat sangat magical. Bangunan-bangunan dengan desain arsitektur yang kuno namun sangat detail dan indah. Kemegahannya semakin terasa dengan adanya banyak sudut taman menghijau yang berbunga lebat dan dirawat sepenuh hati. Terdapat juga patung Buddha berukuran sangat besar yang menjadi salah satu daya tarik dari tempat ini. Kami menghabiskan sore hari itu dengan berkeliling kompleks pagoda dan berfoto sebanyak mungkin sebelum matahari mulai meninggalkan singgasananya. Waktu menunjukkan pukul lima sore ketika bus kembali berjalan, kali ini meninggalkan Mỹ Tho dan melesat menuju Kota Hồ Chí Minh. Lelah sekali rasanya hari itu. Walau lelah, saya cukup bersyukur karena masih bisa belajar banyak hal, bahkan ketika berada di negara orang. 


Patung Buddha yang tersohor


Sekitar dua jam waktu yang ditempuh bus hingga akhirnya kami sampai di Hồ Chí Minh lagi. Kali ini bus menurunkan kami di kawasan Saigon Opera House. Bukan, kami bukan akan menonton opera, kok. Di kawasan ini terdapat banyak toko barang-barang branded yang memang tersohor di kalangan wisatawan mancanegara. Beberapa dari rombongan segera turun bus dan berjalan menuju toko-toko tersebut. Saya dan Mbak Elisa yang memang tidak ada keinginan untuk berbelanja barang-barang mahal akhirnya berjalan cepat menuju antrean di depan gedung opera. 

Kami akan menaiki Saigon City Sighteeing Bus untuk berkeliling kota dan menikmati udara dingin Kota Saigon malam hari di lantai dua dari bus double-decker berwarna merah tersebut. Setiap penumpang bus dikenakan biaya tiket VND145.000 atau sekitar seratus ribu rupiah. Segera setelah membayar, kami mencari tempat duduk yang paling strategis. Lantai dua memang menjadi favorit wisatawan saat menaiki bus ini karena pemandangan gedung-gedung tinggi dan lampu-lampu kota terlihat lebih jelas. Yah, walau mungkin paginya akan masuk angin, sih. Sekitar 45 menit bus ini berkeliling kota dan menunjukkan pada kami pemandangan Kota Saigon di malam hari. Gedung-gedung tinggi terlihat sangat megah memecah gelapnya malam. Menyenangkan sekali rasanya. Tak terasa, waktu menunjukkan pukul sembilan malam dan kami harus segera kembali ke hotel untuk beristirahat. Hari kedua di Vietnam pun sangat berkesan. What a day.

Paginya masuk angin, nih!

Hari Ketiga

Saya memulai pagi hari ketiga di Vietnam dengan mengajak Mbak Elisa jogging di sekitar hotel. Hotel kami memang berada tak jauh dari pusat kota dan dikelilingi pemukiman warga yang bisa dibilang cukup padat. Dan walau terbilang padat, jalanannya cukup bersih, orang-orangnya ramah, harga makanannya masih ramah di kantong, dan ada fasilitas taman kota untuk siapa saja. Sembari melemaskan kaki dengan berjalan cepat, saya dan Mbak Elisa berhenti sejenak di taman kota untuk beristirahat. Di sana sudah ada banyak sekali warga yang mayoritas adalah lansia. Beberapa kelompok lansia sedang melakukan yoga, dan beberapa kelompok lainnya sedang melakukan senam irama. Lagu yang diputar di speaker mengalun pelan diiringi gerakan-gerakan senam kelompok ibu-ibu lansia yang berpakaian modis. Sekilas gerakan-gerakan senamnya lebih mirip tarian-tarian anggun yang sering saya saksikan di televisi. Tak terasa, kedua kaki ini berdiri dan menuju ke kelompok senam tersebut, mengikuti gerakan syahdu dari sang instruktur. Kami selesai berolahraga sekitar pukul tujuh pagi dan segera bergegas menuju hotel. 

Di jalan menuju hotel, Mbak Elisa tiba-tiba berhenti di depan salah satu warung makan yang menjual cơm tấm, semacam nasi rames ala Vietnam dengan lauk daging, bihun, dan sayur lainnya. Aroma asapnya yang mengebul keluar dari sisi warung mulai menyeruak. Sang penjual rupanya sedang membakar potongan daging babi yang sepertinya berbumbu manis. Karena tahu saya tak akan bisa makan di warung ini, Mbak Elisa mempersilakan saya duluan ke hotel. Saya juga teringat bahwa masih ada bubur vegan instan dan keripik kentang yang saya tinggalkan di kamar hotel. Untunglah, saya masih bisa sarapan dengan makanan ini, haha. 

Es kopi susu dulu biar melek!

Ayo ikut senam!

Sekitar pukul delapan pagi, bus sudah berada di depan hotel. Ini artinya kami harus segera turun untuk menuju destinasi wisata di hari ketiga di Vietnam. Tujuan pertama kami pagi itu adalah Bửu Long Pagoda yang lokasinya berada sekitar 30km dari hotel kami di pusat Hồ Chí Minh, tepatnya di Long Binh, Distrik Thủ Đức. Dan dengan kurang dari satu jam perjalanan menaiki bus, kami akhirnya sampai di pagoda unik ini. Mengapa unik? Pagoda ini menampilkan elemen arsitektur Thailand yang sangat indah. Puncak menara emas pagoda menjulang megah ke langit, dikelilingi tanaman hijau subur dan danau yang tenang. Ukiran rumit dan dekorasi mendetail serasa membawa pengunjung mengunjungi jantung Thailand, menjadikannya tempat sempurna bagi mereka yang ingin menjelajahi budaya Thailand tanpa meninggalkan Vietnam. Daya tarik utama dari pagoda ini tentu saja adalah stupa megahnya yang berwarna emas. Di depan bangunan stupa terdapat telaga berbentuk setengah lingkaran yang jernih bagaikan cermin yang seakan memantulkan pemandangan sekitar. Di tengah danau terdapat air mancur yang indah menambah suasana syahdu. Pengunjung boleh naik ke atas untuk menjelajahi stupa tersebut namun harus melepas sepatu di luar; jika khawatir kehilangan, kita dapat membawanya dalam tas yang sudah disediakan.

Setelah lelah berkeliling dan berfoto di kawasan pagoda ini, kami kembali ke area dekat pintu masuk untuk meluruskan kaki dan menikmati minuman herbal dingin yang secara cuma-cuma dibagikan pada pengunjung oleh pihak pengurus pagoda. Segelas minuman dingin berwarna cokelat kemerahan yang sepertinya terbuat dari bahan-bahan herbal dengan tambahan irisan buah kering, agar-agar, dan kacang-kacangan menjadi pelepas dahaga di pagi yang mulai beranjak siang. Tak terasa hingga jam tangan menunjukkan pukul 11.00 waktu setempat. Kami harus segera bergegas kembali ke bus dan menuju ke destinasi selanjutnya. 



Bus berjalan pelan menyusuri jalanan Kota Hồ Chí Minh yang mulai ramai siang itu. Sekitar satu jam kemudian, akhirnya kami sampai di salah satu pusat kerajinan lacquerware di kota ini. Setelah dipersilakan masuk, salah seorang karyawan wanita mulai menjelaskan dan menunjukkan apa itu kerajinan lacquerware. Kerajinan ini merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional yang terbuat dari bahan dasar lak. Lak adalah getah yang dihasilkan oleh pohon lak. Proses pembuatan lacquerware melibatkan beberapa tahapan, seperti pembentukan bahan dasar, pengaplikasian lapisan lak, dan penghiasan atau dekorasi. Hasil akhir dari proses ini adalah produk kerajinan yang sangat indah dan tahan lama. Di pusat kerajinan ini, salah satu bahan utama yang digunakan adalah cangkang telur ayam atau bebek yang sudah dibersihkan. Cangkang telur tersebut kemudian dihancurkan, disusun sedemikian rupa, dan diberi warna serta dilapisi lak atau pernis mengkilap hingga membentuk karya seni visual berupa lukisan, vas, tempat perhiasan, atau alat makan yang sangat indah. Harganya pun tak main-main. Beberapa jenis karya ini dijual dengan harga yang cukup membuat saya mengurungkan niat untuk membelinya. Hahaha.

Karena lokasi pusat kerajinan lacquerware tersebut tak jauh dari Bến Thành Market dan waktu sudah semakin siang, kami memutuskan untuk menuju pasar dan berburu makan siang. Segera setelah bus menurunkan kami di Bến Thành Market, saya mengajak Mbak Elisa berjalan cepat. Kali ini saya sudah tahu harus menikmati makan siang di mana. Ada salah satu gang di kawasan pasar ini yang terdapat banyak restoran halal. Mata saya tertuju pada papan nama Halal Amin Pho Muslim. Kebetulan, sudah tiga hari kami di Vietnam namun sama sekali belum mencoba hidangannya yang paling tersohor, yakni phở. Phở adalah hidangan sup Vietnam yang terdiri dari kaldu tulang, bihun, dan daging yang diiris tipis (biasanya daging sapi). Bisa juga disajikan dengan tauge, herba segar, jeruk nipis, cabai, dan pelengkap lainnya. Segera setelah mendapat tempat duduk, kami memesan dua porsi phở dan soda dingin. Mungkin karena di area ini banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung, harga makanan yang ditawarkan terbilang lebih mahal dari restoran atau warung makan lainnya di kawasan Bến Thành Market. Seporsi phở daging sapi yang kami pesan dibanderol dengan harga VND65.000 atau sekitar Rp50.000. Dengan harga segitu, menurut saya cukup masuk akal. Karena ketika pesanan kami datang, ternyata porsinya cukup besar. Semangkuk mi pipih dengan irisan bawang bombay, seledri, dan banyak potongan daging sapi yang disiram kuah kaldu bening dan ditaburi bawang goreng, lengkap dengan semangkuk kecil cabai hijau yang sudah diiris tipis. Semangkuk phở di sini adalah phở terenak yang pernah saya nikmati. Kami menikmati makan siang sambil bercengkerama. Bercerita tentang tiga hari di Vietnam yang walaupun melelahkan namun cukup berkesan. Mungkin ini termasuk salah satu negara yang akan kami kunjungi lagi di lain waktu. 


Harganya mahal-mahal :(

Kuahnya seger banget!

Setelah perut kami kenyang, kami kembali menaiki bus untuk menuju ke dua destinasi terakhir hari itu. Salah satunya adalah Independence Palace atau Reunification Convention Hall yang berada di Distrik 1 Kota Hồ Chí Minh. Tempat ini adalah landmark yang paling terkenal di kota ini. Di tempat ini kami disuguhi dengan sebuah bangunan besar dan megah yang konon merupakan istana presiden Vietnam Selatan sebelum bergabung dengan Vietnam Utara menjadi Republik Sosialis Vietnam di tahun 1976. Istana ini dibangun pada awal tahun 1960-an dan dirancang oleh arsitek Ngô Viết Thụ, yang menampilkan arsitektur modernis dengan perpaduan gaya Eropa dan Vietnam. Tempat ini telah ditetapkan sebagai monumen bersejarah dan terbuka bagi pengunjung untuk tur dan pameran. Di dalam gedung istana, pengunjung bisa melihat kantor presiden, ruang pribadi presiden, ruang makan, ruang pertemuan, rubanah, bunker, rooftop yang terdapat helikopter militer, dan masih banyak lagi. Rasanya seperti belajar sejarah dari istana ini. Kurang rasanya jika kami tak mengambil foto di depan istana ini sebagai bukti bahwa kami sudah berkunjung ke Vietnam.


Nuansanya merah menyala

Selfie!

Hari itu matahari bersinar cerah walau tak begitu terik. Tak terasa hari sudah semakin sore. Kami harus segera beranjak dari Independence Palace dan menuju ke Saigon Central Post Office yang jaraknya tak sampai satu kilometer. Sesampainya di sana, ternyata sudah ada banyak pengunjung, baik yang berada di halaman gedung maupun di dalam. Kantor Pos Pusat Saigon ini terletak di Jalan Cong Xa Paris, Distrik 1, Kota Hồ Chí Minh. Bangunan ini menjadi salah satu struktur arsitektur klasik terindah di Saigon dan dibangun antara tahun 1886 dan 1891. Sejak didirikan, Kantor Pos Pusat Saigon telah menjadi ikon kota ini dan tempat yang wajib dikunjungi bagi siapa pun yang bepergian ke sana. Dari luar Kantor Pos Pusat Saigon, pengunjung dapat melihat arsitektur klasik Perancis yang khas dan elegan. Cat kuning cerah pada bangunan kantor pos ini menciptakan kesan mendalam pada pengunjung, termasuk saya. Di tengah pintu masuk kantor pos berdiri sebuah jam besar berdesain klasik dan di bawahnya terukir tahun pembangunan dan peresmian kantor pos. 

Begitu masuk ke dalam bangunan, mata kami tertuju ke toko cenderamata yang menjual barang-barang seperti kartu pos bergambarkan kantor pos ini, magnet, maupun gantungan kunci yang bernuansa Vietnam. Setelah bingung memilih, akhirnya saya memutuskan untuk membeli tiga lembar kartu pos bergambar kantor pos ini dan segera membayarnya di kasir. Adalah salah satu wishlist yang sudah lama ingin saya wujudkan untuk mengunjungi kantor pos di suatu negara dan mengirimkan kartu pos ke alamat saya di Indonesia. Kebetulan, saya belum pernah menerima kartu pos dari Vietnam. Segera setelah membeli prangko seharga tarif pos Vietnam - Indonesia, saya menuju meja pengunjung di depan loket-loket petugas pos yang berjajar rapi. Saya mengambil pulpen dan mulai menulis di halaman belakang kartu pos. Dan setelah memastikan prangko terbubuh rapi di sudut kanan atas kartu pos, saya memasukannya ke kotak pos besar tak jauh dari loket tadi. Bismillah. Semoga benar-benar bisa terkirim ke Indonesia. 





Waktu sudah semakin sore pertanda kami harus segera menaiki bus dan menuju lokasi makan malam sebelum nantinya kembali ke hotel. Di perjalanan, kami sempatkan mampir ke masjid di kawasan Distrik Bến Nghé untuk menunaikan salat. Ada yang unik dari masjid ini. Kami tak melihat keran-keran untuk mengambil wudu. Di sisi lain, terlihat semacam kolam besar dengan air yang jernih dan dingin, yang terdapat gayung-gayung air warna-warni dan kursi-kursi kecil di pinggirnya. Ya, jamaah di masjid ini mengambil wudu dengan cara membasuh bagian badan dengan gayung yang berisi air kolam tersebut. Segar sekali rasanya. Oh iya, untuk jamaah putri lokasi kolamnya ada di bagian bawah masjid, tidak terlihat dari luar seperti kolam wudu untuk jamaah putra. Walau perut sedikit keroncongan, kami segera tunaikan salat dan langsung kembali menuju bus.

Bus melaju pelan menuju Bến Thành Market yang menjadi tempat tujuan terakhir kami hari itu untuk mencari makan malam dan juga membeli oleh-oleh. Sesampainya di pasar, kami segera turun dan memasuki area dalam pasar yang di hari pertama kemarin belum sempat kami masuki karena sudah terlalu malam. Suasana di dalam pasar cukup riuh rendah. Masih ada banyak sekali pengunjung pasar walau hari sudah semakin sore. Saya segera berjalan menembus kerumunan pengunjung yang semakin ramai, berusaha mencari penjual cenderamata demi membeli oleh-oleh dan memorabilia lainnya. Dan setelah berkeliling ke sana kemari, akhirnya mata saya tertuju ke salah satu penjual cenderamata yang menjajakan dagangannya di atas meja kecil di area luar pasar. Ternyata harganya jauh lebih murah dari penjual lain yang berada di dalam pasar. Akhirnya saya berhasil membeli beberapa macam gantungan kunci, pin enamel, magnet kulkas, dompet uang koin berhiaskan sulaman bunga, juga gelas hias kecil dengan ornamen bernuansa Vietnam yang berwarna emas. 

Karena rombongan kami masih terpencar ke beberapa penjuru pasar, saya memutuskan untuk menunggu mereka sambil makan malam. Saya berjalan menuju resto Halal Amin yang kami datangi tadi siang. Kali ini saya memesan nasi goreng yang disajikan dengan sambal ikan bilis, irisan timun segar, dan telur mata sapi. Harganya VND40.000 atau sekitar Rp 25.000. Dan karena perut sudah keroncongan, segera saja saya habiskan menu makan malam terakhir di Vietnam itu. Bus kembali membawa kami ke hotel walau saat itu waktu masih menunjukkan pukul 19.00 karena kami harus mengemasi barang-barang kami malam itu. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan pesawat pulang menuju Indonesia yang akan kami tumpangi akan lepas landas sekitar pukul sembilan di pagi harinya. Kami tidak boleh tidur terlalu larut dan terlambat bangun karena esok paginya bus akan mengantar kami ke bandara pada pukul 06.00 tepat. 



Seperti yang dijanjikan sebelumnya, bus sudah berada di depan hotel pukul 06.00 tepat. Langkah kaki kami rasanya berat meninggalkan hotel yang artinya juga meninggalkan Vietnam. Rasanya seperti masih kurang lama kami berkeliling negeri ini. Akhirnya bus mengantar kami kembali ke Bandara Internasional Tân Sơn Nhất, tempat di mana kami memijakkan kaki pertama kali di Vietnam. Rombongan segera menuju counter check in yang antreannya cukup mengular padahal jam masih menunjukkan pukul 06.40 waktu setempat. Saya akhirnya menyelesaikan check in, melewati imigrasi, dan, menuju pengecekan baggage check counter tanpa kendala berarti. Sambil menunggu pesawat, saya mulai mengecek foto-foto di ponsel saya, hal yang selalu saya lakukan di hari terakhir saya bepergian jauh. Benar-benar tidak percaya rasanya tiga hari di Vietnam terlewati begitu cepat, namun saya percaya ini bukan kali terakhir saya mengunjungi negeri naga biru ini. Sampai jumpa di lain kesempatan, Vietnam! Cảm ơn!



Yogyakarta, 06 Juni 2024




Post a Comment

0 Comments