Voyage Chapter 29: Rumah Atsiri, Wisata Edukasi yang Lebih dari Sekadar Asri

Saya punya rekan kerja yang sudah seperti kakak perempuan sendiri, bahkan walau saya tidak punya kakak perempuan sama sekali. Sebut saja namanya Ganggas. Mbak Ganggas ini orangnya supel, cerdas, dan ceriwis sekali, tapi mungkin itu yang membuat saya nyaman berteman dengannya. Mulai dari makan siang bersama, ngopi di kafe, maupun bercerita tentang banyak hal yang tak saya ceritakan ke orang-orang di sekitar saya, Mbak Ganggas adalah salah satu escape person yang menyenangkan. Di cerita kali ini, saya bepergian dengan Mbak Ganggas. Simak ya.

“I have found out that there ain’t no surer way to find out whether you like people or hate them than to travel with them.”Mark Twain


Syahdan, di suatu siang di bulan Juni, saya yang sedang iseng membuka tab Explore Instagram tiba-tiba menemukan tempat yang lumayan seru untuk dikunjungi. Segera saja saya hubungi Mbak Ganggas yang belum lama itu mengajak saya bepergian entah ke mana, “Bun, pernah ke Rumah Atsiri belom? Kayaknya bagus, nih. Sabtu besok ke sana, yuk? Ngajak Yuga juga, dong.” Kurang lebih demikian pesan singkat saya padanya melalui WhatsApp Messenger. Dan tak disangka, ternyata di hari yang saya sebut itu juga Mbak Ganggas ada undangan menghadiri resepsi pernikahan (dengan prokes ketat) salah satu kawan karibnya. Yang lebih kebetulan lagi, lokasi gedung pernikahannya ada di rute jalan menuju Rumah Atsiri Indonesia. Yah, terkadang memang satu kebetulan yang menjadikan satu peristiwa, bukan? Tsaaah.

Singkat cerita, Yuga, yang juga salah satu rekan kerja saya di kantor, menolak halus ajakan kami sebelumnya karena ternyata harus mengajar salah satu kelas daring. Bukan tanpa alasan sih sebenarnya saya mengajak Yuga, yang notabene sama-sama single seperti kami berdua. Dia sudah pasti tak melulu membahas pernikahan dan masalah rumah tangga saat bersama kami. Jujur, saya sudah mulai bosan dengan bahasan itu. Bukankah seru bepergian jauh dan menikmati perjalanan tanpa memikirkan masalah pelik di kehidupan kita? Haha.

Akhirnya saya dan Mbak Ganggas pergi berdua saja (setelah meminta izin sang pujangga tercintanya, tentu saja). Kami berangkat dari Jogja sekitar pukul 06.30 WIB dengan rute perjalanan Yogyakarta (tempat tinggal) – Solo (tempat resepsi) – Karanganyar (Rumah Atsiri). Oh iya, Rumah Atsiri Indonesia (RAI) ini letaknya ada di Kawasan Plumbon, Tawangmangu, Karanganyar, di perbukitan nan tinggi menjulang dan dingin menusuk tulang. Perjalanan pagi itu terasa singkat. Kami sudah sampai di Klaten sekitar pukul 07.30 WIB dan berhenti sejenak di sebuah minimarket untuk sekadar beristirahat dan menikmati kopi dingin. Meminum kopi instan dengan merk dan jenis ini sepertinya sudah menjadi kebiasaan saya sejak dulu jika akan melakukan perjalanan jauh. Yah, agar fokus saya tetap terjaga, sih.


Sekitar pukul 08.30 WIB kami sudah sampai di lokasi resepsi pernikahan. Letaknya ada di Gedung Masjid Raya Fatimah di Kecamatan Serengan, Kota Surakarta. Karena resepsi pernikahan baru akan dimulai pukul 09.00 WIB, kami ke kamar mandi terlebih dahulu untuk berganti pakaian yang lebih formal dan merapikan diri. Upacara pernikahan Mbak Isyana dan Mas Yanuar pagi itu berlangsung khidmat dengan protokol kesehatan yang lumayan ketat. Setelah menyapa sang pengantin bulan Juni dan berfoto, kami segera bersiap menuju destinasi kami selanjutnya. 



Mbak Ganggas dan pose andalannya

Wajib memakai masker!

The spring lovebirds

Sekitar satu jam perjalanan, kami berhenti di sebuah minimarket lagi untuk sarapan dengan menu makan yang kami dapat dari resepsi tadi. Maklum, tamu undangan di resepsi pernikahan zaman sekarang tidak diperbolehkan menikmati hidangan di lokasi. Jadilah kami berhenti, yah itung-itung istirahat lagi. Oh iya, keinginan saya untuk mencoba makanan khas kota ini akhirnya terwujud. Seporsi selat Solo yang terlihat menggiurkan akhirnya saya lahap habis pagi itu. Ditambah beberapa jajanan pasar dan nasi kuning yang terlihat memikat perut. Nikmat rasanya.



Ternyata lumayan mengenyangkan

Jalan yang harus kami tempuh untuk menuju RAI ternyata termasuk menantang. Karena letaknya di atas pegunungan dan melalui jalan yang berkelok-kelok dan tebing curam, kami harus sangat berhati-hati dalam berkendara. Ditambah lagi, suhu sejuk nan dingin yang berhembus ke arah kami serasa semakin meninabobokan saja siang itu. Syahdu.

Kami sampai di Rumah Atsiri Indonesia (RAI) tepat pukul 10.57 WIB. Setelah memarkir sepeda motor, kami segera menuju loket untuk pengecekan identitas pengunjung (menunjukkan KTP) dan juga membayar voucher berbentuk kartu sebagai bukti tiket masuk yang wajib ditukarkan dengan beragam aktivitas, tur, souvenir, atau kudapan di Rumah Atsiri seharga Rp50.000. Setelah itu, penjaga loket memberikan kami selembar peta kecil dan leaflet yang kurang lebih menjelaskan tentang RAI dan apa saja yang ada di dalamnya.





Kami menuju lobby untuk pengecekan suhu dan mendapat arahan dari salah satu staf. Staf ini memberitahukan apa saja yang bisa kami lakukan dan nikmati di RAI yang luasnya sekitar 23.000 meter persegi dengan ratusan jenis tanaman yang ada di dalamnya. RAI sendiri dahulunya adalah bekas pabrik parfum bernama Citronella Indonesia-Bulgaria tahun 1963 yang kini bertransformasi menjadi tempat wisata dengan konsep edukasi alam yang mengeksplor minyak esensial. Banyak sekali aktivitas menarik yang di tawarkan di RAI, antara lain tur Aromatic Garden, yaitu menyaksikan koleksi puluhan jenis tanaman atsiri yang bisa dipegang, dicium, bahkan beberapa bisa dipetik (sesuai arahan guide), jelajah museum essential oil, menikmati kudapan di restoran dengan cita rasa khas atsiri, serta aneka workshop yang akan menghidupkan jiwa ilmuwan kita.

Tujuan kami yang pertama adalah Taman Aromatik yang letaknya ada di sebelah kanan pintu masuk, dekat dengan parkiran. Taman Aromatik adalah taman bunga dengan warna-warni yang menawan. Di sini, kita bisa melihat lebih dari 100 jenis tanaman penghasil minyak atsiri dari Indonesia dan mancanegara yang masing-masing memiliki cerita, aroma, dan karakteristik yang tiada duanya. Terdapat pula bangunan layaknya rumah kaca yang berisi banyak tanaman bunga dalam pot seperti Calendula, Geranium, dan masih banyak lagi. Siang itu hujan turun deras, kami berdua beristirahat di rumah kaca ini hingga hujan agak mereda. Apa yang kami lakukan? Tentu saja berfoto ria.


















Sesaat kemudian, hujan reda. Kami berpindah ke Marigold Plaza yang berfungsi sebagai titik kumpul dan berada di tengah-tengah resto, museum, tangga menuju laboratorium dan juga Toko Aromatik. Ada banyak sekali bunga Marigold atau Gemitir berwarna kuning dan oranye cerah. Sangat cocok digunakan sebagai tempat berfoto dan bersantai. Setelah Mbak Ganggas mulai mengeluh kehausan, kami berhenti berfoto dan segera menuju resto. Mbak Ganggas memesan segelas Iced Black Coffee, sedangkan saya segelas Iced Milk Coffee yang dibayar menggunakan saldo kartu saat masuk tadi. Kami menikmati seruputan es kopi pertama kami siang itu tepat saat rintik hujan selanjutnya datang. Sembari menikmati kopi, kami mengobrol tak ada habisnya. Membicarakan masalah percintaan masing-masing (Mbak Ganggas lagi LDR lho, hahaha), membahas kerjaan di kantor yang luar biasa padat, dan menceritakan makna kehidupan ini dalam sudut pandang masing-masing, setelah sedikit banyak diterpa kehidupan yang semakin mematangkan pemikiran kami sebagai orang dewasa, walau saya belum siap untuk itu.










Setelah kami merasa lelah dan hujan sudah sedikit mereda, kami memutuskan untuk pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 14.30 WIB. Rencananya, kami mau mampir dulu ke sebuah warung makan yang khusus menyajikan selat Solo yang sudah cukup terkenal. Dengan pertimbangan prakiraan waktu tempuh kurang lebih 3 jam hingga sampai Yogyakarta, kami segera bergegas. Cuaca sore itu masih sedikit mendung dengan angin yang lebih sepoi-sepoi daripada siang tadi. Dan jalan berkelok yang lebih menantang dan lebih berbahaya sudah menunggu untuk kami lewati.

Kami sampai di Warung Selat Mbak Lies di Kecamatan Serengan, Surakarta sekitar pukul 16.00 WIB. Warung makan yang menurut saya cukup unik karena desain interiornya yang beraneka warna dan terlihat sangat ramai (?). Kami segera memesan selat bestik yang terlihat menggugah rasa. Tak lama, pesanan kami datang, sepiring bestik sapi dengan kentang goreng, sayuran, dan telur bacem yang disiram kuah manis gurih menjadi hidangan penutup kami sore itu. Hidangan yang sangat pas dinikmati setelah seharian lelah bepergian ke sana ke mari. Setelah menghabiskan makanan di atas piring, kami segera membayar ke kasir dan melanjutkan perjalanan pulang.






Di jalan pulang, hujan masih saja mengguyur kami, bahkan lebih deras daripada hujan di siang hari tadi. Dengan terpaksa, kami menembus hujan setelah mengenakan jas hujan, semata agar hari tidak semakin gelap. Akhirnya kami sampai di Jogja sekitar pukul 18.00 WIB. Perjalanan yang sungguh melelahkan dan menyenangkan. Oh, tentu saja, mengenyangkan.


Yogyakarta, 22 Juni 2021




Post a Comment

0 Comments