Voyage Chapter 30: Wisata Alam Posong, Cerita Cinta di Siang Bolong

Rekan kerja sekaligus senior saya di kantor, sebut saja namanya Mbak Ganggas pagi itu duduk manis di ruangannya. Syahdan, saat saya membersamainya makan siang, tiba-tiba terbesit untuk berbicara perihal cinta. Oh, sebelum saya cerita lebih jauh, saya ingin memberitahu satu hal ini. Saya sama sekali bukan pakar di bidang percintaan. Tak salah pula kalau saya menyebut diri saya sendiri masih awam. Di lain sisi, banyak sudut pandang yang kerap kali saya perhatikan jika bicara tentang hal ini, mencoba menjadi pendengar yang tak berpihak, dan tentu saja selalu memahami dengan hati-hati. Mungkin hal-hal ini yang membuat beberapa teman dekat saya tak ragu membicarakan kisah cinta mereka di depan saya. Tak terkecuali Mbak Ganggas.

“We're all stories, in the end.” ― Steven Moffat

Singkat cerita, Mbak Ganggas mulai menghela nafas panjang dan mengernyitkan dahinya saat saya mulai berbicara perkara cinta. Sejenak ia tampak gusar. Musababnya, beberapa bulan belakangan ia tengah menemui problema di kisah percintaannya. Saya ingat Mbak Ganggas sempat berceletuk, “Kenapa sih aku harus jatuh cinta? Kok dia bikin sebel, sih? Maunya gimana, sih?” Sepertinya terdengar demikian di telinga saya.

Setelah menceritakan beberapa keluhan percintaan yang dialaminya, Mbak Ganggas tiba-tiba menatap sedih ke arah saya dan berkata lirih, “Ayo temenin piknik yang jauh.” Sesaat saya terbahak mendengarnya. Bukan, bukan karena mengejeknya. Hanya saja saya sudah terpikir beberapa detik sebelumnya kalau ia akan mengatakan hal tersebut. Haha. Singkat cerita, kami merencanakan untuk mencari tempat yang cocok untuk menenangkan pikiran dan sejenak berhenti dari kesibukan.

Deskripsi “jauh” di kosakata Mbak Ganggas biasanya saya tangkap sebagai lokasi yang letaknya bukan di Jogja, mungkin sama halnya seperti Rumah Atsiri yang kami kunjungi Juni lalu, lokasinya di Karanganyar, yang menurut Mbak Ganggas sudah masuk kategori “jauh”. Saya memutar otak, mencari kira-kira di mana tempat yang jauh dari perkotaan, dikelilingi alam yang hijau, dengan hembusan angin yang membuat badan menggigil kecil, dan tentu saja, terhindar dari keramaian.

Tempat nun jauh

Kemudian saya teringat, ada satu tempat yang sudah lama ingin saya datangi. Pemandangannya memanjakan mata. Letaknya ada di pegunungan dan dikelilingi pepohonan rindang yang menghijau. Wisata Alam Posong, sebuah tempat nan jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Seminggu setelah merencanakan untuk mengunjunginya, akhirnya kami berangkat.

Hari itu, Minggu, 19 September 2021, sekitar pukul 06.30 WIB saya sudah duduk manis di atas jok sepeda motor saya di pagar depan kos Mbak Ganggas. Kami sepakat untuk berangkat pagi agar perjalanan tidak terganggu macet dan bisa sampai di lokasi lebih awal. Selang beberapa menit, Mbak Ganggas keluar dari pintu kosnya mengenakan sweater kuning hangat, jaket warna cokelat, sepatu sneakers putih, dan celana kulot panjang warna hitam dengan jilbab warna sama. Suasana hatinya terlihat baik-baik saja hari itu. Baguslah, pikir saya. 

Setelah memastikan semuanya siap, kami segera berangkat. Rute yang kami tempuh untuk menuju lokasi kurang lebih seperti ini: Jl. Magelang (Yogyakarta) – Muntilan – Mungkid – Mertoyudan – Temanggung – Parakan – Wisata Alam Posong. Jalanan pagi itu lumayan lengang, mungkin karena masih pagi juga. Hanya ada beberapa pengendara sepeda motor dan truk-truk pengangkut hasil perkebunan. Waktu menunjukkan pukul 07.20 WIB Ketika kami sampai di Kabupaten Temanggung. Seingat saya, saya baru pertama kali mengunjungi kabupaten ini.  Kabupaten yang menurut saya sangat khas. Bagaimana tidak, beberapa menit setelah sampai di Temanggung, aroma semerbak tembakau mulai menusuk hidung. Banyak irisan daun tembakau yang sedang dijemur oleh warga sekitar di pinggir jalan atau di halaman rumah mereka. Aromanya sangat khas. Saya jadi sedikit nostalgia, teringat aroma rokok lintingan kakek saya dahulu. Temanggung memang penghasil tembakau yang sudah cukup moncer di Indonesia. Di kalangan produsen rokok, tembakau Temanggung dikenal memiliki kualitas paling baik dibanding tembakau yang dihasilkan di daerah lain seperti Madura dan Bojonegoro.

Tentang tembakau

Karena di Jogja sepertinya jarang sekali atau bahkan tidak ada yang menanam pohon tembakau, sejauh pengamatan saya, melihat hamparan kebun tembakau sepanjang jalan menjadi sebuah hal yang sangat menarik. Bahkan, Mbak Ganggas sampai turun ke perkebunan dan meminta izin kepada ibu pemilik kebun untuk mengambil foto dengan tanaman tembakau yang sedang berbunga dan tingginya melebihi tinggi badan kami. Beruntung, sang ibu pemilik kebun mengizinkan kami. Menyenangkan.




Setelah berfoto dan berterimakasih pada pemilik kebun, kami melanjutkan perjalanan. Kurang dari satu jam kemudian, kami sampai di jalan masuk menuju Kawasan Wisata Alam Posong. Untuk menuju ke lokasi wisata yang ada di atas pegunungan sana, pengunjung bisa mengendarai sepeda motor milik sendiri atau menaiki ojek yang sudah banyak menunggu di area bawah. Awalnya kami bertanya-tanya mengapa ada banyak sekali ojek di sana, dan akhirnya kami menemukan jawabannya. Kondisi jalan yang harus dilewati untuk menuju ke lokasi di atas lumayan membuat jantung kami berdegup kencang. Jalan yang harus dilalui cukup menanjak dan berkelok-kelok. Kami berdoa sepanjang perjalanan naik ke lokasi. Yah, karena memang semenakutkan itu. Haha.

Sampai di atas, pengunjung diminta membayar tiket masuk di loket. Tiket yang harus dibayarkan adalah seharga Rp20.000 per orang, belum termasuk biaya parkir kendaraan. Setelah memarkir motor, segera saja kami menuju area di depan parkiran yang cukup banyak didatangi pengunjung. Di area ini, pengunjung dapat melihat luasnya hamparan kebun tembakau yang mulai menguning. Dengan beberapa pepohonan rindang di sekitar, udara di pegunungan ini cukup menusuk tulang, beruntung, saya memakai jaket hari itu. Yah, walaupun sudah agak basah oleh embun di daerah sana.



Sampai di Posong

Pagi itu, saya sangat menikmati syahdunya suasana di sana. Wisata Alam Posong ini terletak di lereng Gunung Sindoro di ketinggian 1.823 mdpl. Tak heran, udaranya sangat sejuk dan nuansanya sangat khas pegunungan. Rasanya seperti kembali jatuh cinta. Sejenak saya berpikir, “Apakah jatuh cinta itu hal yang salah?” Sebagai seorang theis yang meyakini bahwa Tuhan yang menciptakan segalanya, saya percaya bahwa Ia menciptakan semua bagian yang ada dari diri manusia termasuk perasaan yang tak bisa lepas dari diri kita. Lalu, kalau jatuh cinta adalah suatu hal yang salah, berarti Tuhan jugalah yang selalu ada dalam permasalahan ini?

Mbak Ganggas yang sedari tadi terlihat menggigil kedinginan nampaknya sudah mulai tak memedulikan kegelisahan masalah cintanya. Saat kami duduk sembari menyeruput segelas teh hangat di kursi pengunjung yang ada di dekat pepohonan, Mbak Ganggas kembali menceritakannya lagi, namun kali ini dengan kepala dingin. Saya tak mau dan tidak akan mau menyalahkan pihak manapun ketika saya dihadapkan pada suatu permasalahan. Reaksi sebab akibat pasti akan selalu terjadi dan tak pernah bisa dihindari. Saya percaya itu. Terlebih, saya selalu menekankan pada siapapun yang bercerita kepada saya tentang masalahnya untuk selalu get over it and start anew, with deeper understandings and brighter hopes. Jatuh cinta itu tidak salah, kok.








Kalau memang jatuh cinta itu salah, bukan hak kita juga untuk menyalahkan ketika dia datang tanpa disangka. Toh, tak jarang pula cinta datang di saat yang salah. Ada yang datang saat pandangan pertama, ada juga yang tak kunjung datang walau sudah sekian purnama saling pandang. Hei, kita tak akan pernah bisa mengendalikan jatuh cinta. Kita ini siapa, sih?

Memandangi hamparan hijau di depan mata rasanya memang sangat menenteramkan hati. Ditambah lagi, udara di kawasan Posong yang sama sekali tidak menjadi hangat. Akhirnya, kami memutuskan untuk memesan tempe mendoan khas Temanggung untuk melawan hawa dingin di sana, tentu saja juga untuk mengisi perut kami yang sedari pagi tadi belum terisi sama sekali. Mendoan dan tahu goreng panas yang disajikan bersama cabai segar oleh salah satu warung di sini terasa sangat nikmat. Kami menghabiskannya sambal bercerita banyak hal. Tentang bagaimana rute jalan pulang kami nanti, tentang di mana tempat yang enak untuk makan siang, juga tentang langit yang terlihat gelap pertanda hujan akan segera menghampiri. 


Setelah puas berfoto di kawasan wisata di sana, kami berkemas untuk pulang. Waktu menunjukkan pukul 11.30 WIB saat kami menuruni area pegunungan untuk kembali ke jalan aspal utama. Beruntung, mendung yang tadi sempat terlihat di atas sudah mulai pudar dan berganti dengan langit biru yang bercahaya. Perjalanan pulang rasanya berlalu lebih cepat dibandingkan saat kami berangkat. Siang itu, kami memilih Sop Senerek khas Magelang sebagai menu makan siang kami. Dan setelah salat Zuhur di masjid terdekat, kami melanjutkan perjalanan pulang ke kota tercinta. Membawa hati yang bahagia, membawa sejuta cerita.


Yogyakarta, 30 September 2021






Post a Comment

0 Comments