Voyage Chapter Two: The Great Lawang Sewu, Semarang!



“Pada hari Minggu ku turut Ayah ke kota, naik mobil istimewa ku duduk di b’lakang, ku duduk samping kakakku yang sedang Twitter-an, ngetweet ini ngetweet itu yang penting nggak bosan.” Mungkin bait lagu ini tepat bila dinyanyikan Mawas, adikku yang pada hari Minggu tanggal 12 Januari 2014 lalu pergi ke Kota Semarang bersama ayah ibu dan kakaknya. Ya, beberapa minggu lalu, kami sekeluarga akhirnya bisa mewujudkan impian sang Ibu Negara (Ibuku-red) berpelesir ke Semarang dan sekitarnya. Memang sudah sejak lama, Ibuku ingin sekali mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada di Semarang, khususnya Lawang Sewu atau yang dalam bahasa Indonesia berarti Pintu Seribu. Berikut cerita lengkapnya.

Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 08.00 WIB tepat setelah ibu pulang dari tugas jaga malam di rumah sakit. Setelah mempersiapkan segala keperluan seperti minuman, kamera, powerbank, kacamata dan lain sebagainya, kami segera berangkat. Pagi itu anehnya udara terasa sejuk, dan ditemani dengan langit yang sedikit mendung.
   
Di perjalanan, tak banyak yang kulakukan selain hanya bermain Twitter, membaca komik, maupun bercengkrama dengan adikku. Jalanan hari itu terhitung lumayan lancar untuk hari Minggu yang notabene hari libur. Kami berhenti sejenak di sebuah rumah makan di Jalan Yogya - Semarang untuk mengisi perut.
Adik dan Ibuku
Rencana piknik saat itu adalah: mengunjungi Simpang Lima, mengunjungi Kota Tua, mengunjungi Lawang Sewu dan langsung kembali ke Jogja. Namun, di antara tiga tempat tersebut hanya Lawang Sewu-lah yang dapat kami kunjungi. Kami melewati Simpang Lima memang, namun hujan deras tak mengijinkan kami mampir sejenak untuk melihat-lihat. Yang kulihat dari dalam mobil, Simpang Lima adalah sebuah alun-alun berbentuk lingkaran yang sangat luas dengan lima cabang berupa jalan raya  yang masing-masing menuju ke arah yang berlawanan. Hampir mirip Alun-Alun Utara-nya Jogja namun terkesan lebih sibuk, lebih bersih, dan lebih modern. Sayang sekali kami tak bisa “hinggap” di sana.

membelakangi tugu muda Semarang
    
Tak berapa lama, sampailah kami di Lawang Sewu. Dalam bayanganku selama ini, Lawang Sewu adalah gedung tua raksasa buatan Kolonial Belanda berusia ratusan tahun dengan ribuan pintu dan jendela menembus dimensi mistis (?) dan terkesan gelap serta angker. Namun semua bayangan itu sirna tatkala kami sampai di gerbangnya. Hujan sudah reda dan langit kembali cerah, sehingga gedung di depan kami malah terlihat seperti gedung perkantoran milik orang bule yang bersih dan luas, jauh sekali dari kesan mistis maupun angker. Taman-taman yang diatur sedemikian rupa serta replika lokomotif yang terlihat kinclong seakan menghilangkan kesan buruk di mataku sebelumnya. Dalam pikirku, “Yakin nih yang beginian dibilang angker?”
    
Di loket, kami mengantre tiket sambil sesekali bermain dengan anak kucing milik satpam setempat.
    
Meooong..
Setelah membayar karcis seharga Rp 40.000 untuk empat orang tanpa guide (biaya ditambah Rp 30.000 bila menggunakan jasa guide), kami segera memasuki area halaman Lawang Sewu yang ternyata cukup luas untuk gedung yang terhitung kecil. Ada perlombaan fotografi yang dilakukan di sana. Banyak fotografer muda yang silih berganti mengikuti model berpose di area gedung ini. Sungguh menarik. Berikut keadaan lomba fotografi siang itu:
    
Lomba Fotografi

Pohon Besar di tengah halaman

dari dekat

koridor berwarna cerah

sudut yang paling terkenal

sudut terbaik di Lawang Sewu

sisi gedung utama

Lawang Sewu dari depan gerbang
Pemandangan terang benderang di dalam area Lawang Sewu masih saja menarik perhatianku. Pohon besar di tengah-tengah halaman menambah kesan rindang dan teduh. Aku sungguh yakin tempat itu tidak angker. Lorong-lorong yang bersih dan berwarna cerah pun bisa menjadi objek foto yang baik untuk para profesional, sungguh jauh dari perkiraan awalku yang membayangkan koridor gelap yang berhantu. Memasuki ruangan demi ruangan dengan ratusan pintu berukuran raksasa, dapat ditemui foto-foto, replika, video, maupun cerita sejarah dari lokomotif. Lawang Sewu sepertinya tak salah bila disebut Museum Lokomotif sebab banyak sekali hal-hal berbau lokomotif yang dapat ditemui di dalamnya, dan baru-baru ini kuketahui bahwa Lawang Sewu dulunya adalah Kantor Pusat Perusahaan Kereta Api Swasta NIS. Hmm, masuk akal.
    
bersama foto-foto lokomotif
dalam kanvas
Lokomotif unik
Lokomotif Kuno
Cerita-cerita indah tentang dunia terang benderang sepertinya mulai terhenti saat ibu mengajak kami memasuki ruang bawah tanah yang terletak tepat di bawah bangunan-bangunan itu. Aku mulai bergidik ngeri, “Kira-kira itu tempat apaan ya? Perasaan ku nggak enak..”
    
Benar saja, setelah menyewa sepatu boots dan senter seharga Rp 20.000 per orang ditambah Rp 30.000 untuk guide-nya, kami langsung dituntun menuruni tangga menuju ke ruang bawah tanah berupa lorong yang panjang dan digenangi air setinggi kurang lebih 10 cm. Sang guide menjelaskan bahwa ruang bawah tanah ini dahulu dibangun pemerintah Belanda sebagai pendingin ruangan yang ada di atasnya, namun berubah menjadi tempat penyiksaan pejuang pribumi saat dikuasai oleh Jepang.
    
Terdapat beberapa macam ruangan penyiksaan yang benar-benar tak masuk di akal. Ada penjara berdiri yang sangat sempit dan digunakan untuk “menyimpan” enam orang sehingga mereka akan mati karena sesak dan udara lembab, ada pula penjara jongkok yang tak kalah mengerikan dan digenangi air. Dan highlight-nya adalah meja eksekusi yang digunakan untuk memenggal kepala pejuang Indonesia kala itu. Beruntung, meja-meja tersebut sudah dipindahkan dan hanya menyisakan kaki-kaki meja saja.
    
Sebagaimana dijelaskan oleh guide kami, mayat pejuang yang telah dieksekusi ternyata hanya dibuang lewat saluran yang menghubungkan ke halaman belakang gedung, mayat akan diambil oleh penjaga yang bertugas dan dibuang ke sungai begitu saja. Sungguh mengerikan. Sebenarnya aku cukup takut dengan cerita-cerita seperti ini, apalagi mengunjungi tempat eksekusinya secara langsung, untung saja tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Bisa repot. Apalagi saat di dalam ruang penyiksaan, serasa tercium aroma anyir menusuk hidung. Aroma darah. Mungkin sugesti saja.
    
di ruang bawah tanah

Setelah keluar dari ruang bawah tanah itu, kami segera bergegas menuju area hijau untuk sekedar bersantai dan berfoto. Tak lama setelahnya, Ayah mengajak kami pulang. Perjalanan pulang ditemani hujan entah mengapa terasa menyenangkan, kami juga mampir beristirahat sebentar di Monumen Palagan Ambarawa di Kota Ambarawa untuk sekedar menikmati sore dan berfoto di sana. Terdapat banyak patung-patung pahlawan serta beberapa tank tempur yang cukup saying kalau dilewatkan.

tank tempur di Monumen Ambarawa

Hahahaha..

Boeing

Shoot!


     
Setelah membeli oleh-oleh, kami benar-benar harus pulang ke Jogja karena hari sudah semakin gelap. Hari itu sungguh hari yang berkesan dan mampu menambah lagi daftar tempat-tempat hebat di negeri kecilku ini. Walaupun aku tak berhasil merasakan panasnya Semarang karena hujan dan cuaca sejuk berangin, namun takkan pernah kulupakan kehangatan Kota Atlas tersebut. Kota kecil yang sibuk namun tetap bersahabat. Jaga kesehatan! Bon Voyage!



Yogyakarta, 31 Januari 2014

Post a Comment

2 Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. yaaa, foto-fotoku di temapt2 ini pada hilang -_-

    ReplyDelete