New Experience: Simulasi Tes IELTS, Seramkah?

Yeaaaah, akhirnya bisa nulis lagi nih setelah kemarin nggak ada waktu luang dan bahan cerita menarik yang bisa dibagi di blog ini. (Alibi.)

“You can have it all. Just not all at once.” - Oprah Winfrey

Sebenarnya ada sih pengalaman menarik yang saya alami beberapa waktu lalu, cuma males nulis aja. Masih ingat tentang saya mendaftar beasiswa Chevening? Ingat juga pastinya dengan Chevening yang mempersyaratkan peserta untuk harus memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang baik dan dibuktikan dengan sertifikat IELTS? Nah, untuk mempersiapkan itu, saya sempat mencoba tes simulasi IELTS yang diselenggarakan oleh salah satu lembaga belajar bahasa asing di Yogyakarta. Itung-itung sebagai pengalaman juga sih sebenarnya, ya kali sarjana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris kok belum pernah mencoba tes bahasa Inggris yang paling diakui di dunia itu kan ya (?). Sebenarnya IELTS ini sempat disinggung di perkuliahan saya di semester awal dulu. Beberapa dosen pernah menyampaikan bahwa mendapat skor 5.0 adalah sangat sulit di IELTS, apalagi 6.0 yang dipersyaratkan oleh rata-rata kampus di luar negeri. Tapi memang harapan tak boleh pupus hanya karena suara sumbang di luar sana. Saya tetap mencoba.

Singkatnya, sehari sebelum tes saya mendaftarkan diri dulu, lewat teman yang kebetulan bekerja di sana. Lalu malamnya saya coba-coba baca contoh soal dan cara mengerjakan yang ternyata hmmm, benar-benar susah. Untuk soal Listening mungkin masih agak lebih familiar ya, karena hampir sama seperti di tes TOEFL. Soal Reading pun nggak jauh berbeda. Yang membedakan antara TOEFL dan IELTS mungkin di bagian Speaking dan Writing, kalau di PBT (Paper-Based TOEFL) tidak ada Speaking dan menulis esai pendek, di IELTS ada, dan itu bukan perkara yang mudah. Bener-bener butuh persiapan panjang nih. 

Hari H akhirnya tiba. Tepat pukul 09.00 saya sudah duduk manis di ruang tes yang disediakan. Ada seorang mbak-mbak yang mengawasi dan selanjutnya membagikan lembar soal, lembar jawaban, lalu menjelaskan prosedur serta waktu yang tersedia. Saya masih ngantuk berat waktu itu.

Tes pun dimulai. Sesi pertama adalah Listening, saya santai-santai saja karena semalam bisa mengerjakan latihan dengan mudah dan tak terlalu terkendala. Tapi kok ini... SUSAH 😢. Entah telinga saya yang belum bolong atau speakernya memang terlalu nge-bass, suara percakapan di rekaman tidak dapat terdengar jelas, ada noise pula, saya kewalahan mengikuti pembicaraan. Hingga soal Listening habis saya baru sadar mengapa semalam saya lancar-lancar saja mengerjakannya: I WAS WEARING A HEADSET. Holy moly.

Lanjut ke sesi selanjutnya, yaitu sesi Reading dan Writing yang terasa sangat cepat berlalu walau bacaan dan topik yang diberikan lumayan banyak dan rumit. Di sesi Writing, saya diharuskan mendeskripsikan dua bagan/diagram dengan menggunakan informasi yang ada di bagan tersebut. Lumayan sulit bila kita tidak terbiasa atau berlatih dulu sebelumnya. Selanjutnya saya harus menulis esai pendek dengan tema yang sudah diberikan. I’m not an excellent writer so at that moment I tought the result would be sooooo bad.

Sesi terakhir adalah sesi yang paling menegangkan. Di sesi Speaking, ada satu mbak-mbak lagi yang memasuki ruangan yang sepertinya akan menjadi interviewer saya. Miss Ditta namanya, ia menjelaskan prosedur sesi ini dan kemudian menyuruh saya menarik napas panjang karena Speaking session akan segera dimulai. I thought it would be very awkward and full of tension. Ternyata di luar dugaan, sesi Speaking lumayan seru dan menyenangkan. Asal bisa mengatur waktu berbicara yang diberikan, menggunakan kalimat yang grammatically correct dan pandangan selalu tertuju pada interviewer, dijamin skornya bagus deh.

Setelah tes berakhir, di meja penilaian, Miss Ditta menyampaikan beberapa hal yang harus saya perbaiki dan poles lagi agar mendapat skor yang benar-benar diinginkan. Menurutnya, speaking skill saya sudah sangat baik (woohoo!), begitu pula dengan reading skill. Untuk writing skill, ia memuji kemampuan menulis saya dan memberi saran agar saya benar-benar menuangkan gagasan saya sesuai dengan topik yang diberikan, karena secara grammar sudah tidak ada masalah (kok terdengar sombong banget ya 😞, but she really said so). Di akhir pembicaraan kami, Miss Ditta sempat heran mengapa skor listening saya bisa terlihat rendah dibanding skor dari skill yang lain karena biasanya skor akan rata perbandingannya. Heuheu. Salahkan speaker.

Woohoo!
Daaaaan, sertifikat IELTS Simulation sudah di tangan. Yah, masih perlu banyak belajar lagi agar bisa benar-benar punya sertifikat IELTS yang bukan simulasi. Hehe. Terima kasih sudah membaca postingan ini. Semoga sehat selalu!


Yogyakarta, 30 Januari 2018

Post a Comment

0 Comments