Voyage Chapter Eighteen: My Journey to The West – Bandung!

Kekuatan waktu dan penantian. Setelah sekian lama, akhirnya saya bisa kembali dengan tulisan mengenai perjalanan traveling saya. Yah, kuliah profesi dan terutama praktik mengajar di sekolah memang banyak menguras waktu sih, jarang banget bisa curi kesempatan untuk jalan-jalan dan liburan. Jadi, di postingan kali ini saya akan menceritakan pengalaman solo traveling saya yang gagal baru-baru ini di Bandung, Jawa Barat. Mengapa gagal? Yuk, lanjut baca.

"The only impossible journey is the one we never begin." – Tony Robbins


Jadi, merupakan wish-list saya di tahun 2018 ini untuk bisa solo traveling alias jalan-jalan jauh sendirian, tanpa ditemani siapapun. Terdengar meragukan memang, namun bukankah penemuan makna hidup hanya berhasil saat kita menyepi sendirian? Di sela-sela kesibukan mengajar siswa SMA sebagai salah satu kegiatan di perkuliahan profesi, saya merencanakan perjalanan wisata ke Bandung untuk sekedar mencari udara segar dan suasana baru. Mengapa Bandung? Saya ingin merasakan atmosfer berbeda dengan kota yang saya tinggali, sudah lama juga rasanya saya tidak menyapa kota tersebut. Dan karena tidak bisa memohon izin lama-lama dari sekolah, saya hanya mengambil ijin di hari Jumat (karena Sabtu dan Minggu sekolahan libur kan).

Sekitar tiga minggu sebelum hari H, saya membeli tiket di stasiun. Di perjalanan membeli tiket, saya mendapat pesan dari teman saya, Sigit, yang saat itu baru diterima bekerja di Jakarta untuk menemuinya kalau saya ada waktu. Kebetulan sekali waktunya pas, akhirnya saya membeli tiket Jogja-Jakarta seharga Rp150.000,00, hitung-hitung bersua teman lama yang sekarang jadi anak metropolitan. Dan saya berencana membeli tiket ke Bandung setelah sampai di sana saja, kan murah tuh dari Jakarta ke Bandung (padahal sih sama aja).

Dan kebetulan lagi, ternyata teman saya ini pun ingin juga liburan di Bandung (karena dia belum pernah sama sekali ke kota Priangan tersebut) dan menawarkan diri untuk menemani saya liburan bersama di sana. Hmm. Sebenernya nggak ada salahnya sih, justru asyik karena ada temen dan nggak bakal keliatan kayak orang ilang, tapi solo traveling-nya gagal dong. Nah kan. Walaupun akhirnya saya mengiyakan ajakannya sih. Kami pun selanjutnya membuat itinerary untuk memudahkan perjalanan liburan selama 2 hari di Bandung. (Pada akhirnya, itinerary hanyalah itinerary, hahaha.)

Menuju Jakarta
Setelah mengecek kembali barang bawaan di satu tas besar dan satu tas kecil, saya menuju Stasiun Yogyakarta (YK) sekitar jam 08.00 pagi karena kereta akan berangkat jam 08.30. Hari itu, Jumat (26/10), matahari bersinar cerah dan tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Punggung sudah merebah di kursi Kereta Api menuju Stasiun Pasar Senen (PSE), mencari posisi ternyaman untuk menikmati pemandangan di luar. Banyak hal yang saya amati di dalam kereta pertama saya melakukan perjalanan sendirian itu. Lalu lalang petugas restorasi di dalam gerbong, pemberhentian sekejap di setiap stasiun, riuh ramainya siswa SMP yang sedang pulang dari karya wisata, dan masih banyak lagi. Saya tidak bisa tertidur selama kurang lebih 8 jam perjalanan di kereta. Terlalu berdebar.



Makan siang saya di perjalanan menuju Jakarta

Sekitar pukul 17.00 kereta berhenti di Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Teman saya sudah menjemput di depan gerbang keluar stasiun. Senyum cerahnya menyambut saya yang saat itu bermuka kusut dan setengah mengantuk. Berdua, kami memesan jasa ojek online dan segera menuju kost Sigit untuk beristirahat dan makan malam. Jakarta, belum pernah saya melihat jalanan lengan tiap kali mengunjungi kota besar ini. Macet? Pasti. Sore itu mendung, udara panas khas Jakarta jadi sedikit berkurang. Tak begitu banyak saya memperhatikan sekitar, terlalu lelah dan sedang tidak ingin bercengkerama dengan suara kendaraan yang berlarian mengejar waktu.

Sampai di Bandung
Paginya, Sabtu (27/10), kami mengemasi barang yang akan kami bawa untuk liburan di Bandung. Kereta akan berangkat pukul 09.15 dan kami sampai di Stasiun Pasar Senen (PSE) sekitar setengah jam sebelumnya. Membunuh waktu, saya potret saja keadaan stasiun pagi itu. Lumayan ramai, maklum sih, akhir pekan. Banyak penumpang yang membawa tas-tas besar, akan mudik sepertinya.

Menunggu balasan mas-mas ojek


I love you, KAI


Pemandangan di luar kereta

Sekitar 3 jam waktu yang ditempuh kereta Argo Parahyangan dari Stasiun Pasar Senen (PSE) ke Stasiun Bandung (BD). Tak banyak yang kami berdua lakukan di dalam kereta, bermain Mobile Legends dengan sinyal seadanya, mendengarkan musik selera masing-masing, dan makan cemilan yang kami bawa sebelumnya. Pukul 13.00, kereta berhenti di Stasiun Bandung (BD). Akhirnya kami sampai di Kota Lautan Api.





Kami segera turun dan menuju lokasi penyewaan sepeda motor tak jauh dari stasiun. Seminggu sebelumnya, Sigit sudah memesan sebuah sepeda motor matic di salah satu tempat penyewaan kendaraan dekat stasiun dengan tarif Rp100.000,00 per hari. Keputusan menyewa sepeda motor akhirnya kami sepakati sebab akan lebih banyak menghabiskan uang jika kami berwisata menaiki ojek online. Yah, backpacker cari yang hemat-hemat dong.

Setelah mendapatkan sepeda motor, kami berdua berboncengan menuju sebuah penginapan di daerah Jl. Taman Pramuka, namanya Wisma Gandapura, yang terletak di samping apotek dengan nama sama. Penginapan ini juga sudah dipesan Sigit sebelumnya melalui aplikasi Airbnb, dan menurut saya termasuk murah untuk kamar ukuran sedang dengan dua tempat tidur dan kamar mandi dalam, ada TV pula. The vibes are quiet good, too.

Sejenak beristirahat dan merapikan barang bawaan, kami bersiap untuk segera menuju lokasi tujuan pertama, yaitu Jalan Braga di Kota Bandung. Menurut banyak traveler nih, Jalan Braga adalah sebuah jalan utama di Kota Bandung yang sejak jaman Hindia Belanda hingga sekarang tak ubahnya jalan Malioboro di Jogja. Benar, ramai sekali oleh pejalan kaki yang sedang melancong di Kota Priangan ini. Gedung Merdeka dan Gedung Konferensi Asia Afrika juga terletak di Jalan Braga sih sebenarnya, jadinya lumayan ramai saat akhir pekan.




Sepanjang Jalan Braga, banyak sekali kaum muda yang riuh ramai bercengkerama, menikmati jajanan khas yang bisa dibeli di toko-toko di sekitar, atau sekedar berfoto dengan latar belakang gedung-gedung dengan arsitektur yang kesan artistiknya begitu terasa. Mirip dengan Malioboro, hanya saja lebih sempit namun tertata rapi. Lukisan, barang antik, kudapan, minuman, maupun pakaian banyak dijual di tepi jalan. Siang hari saja ramai begitu, entah apa jadinya kalau kami ke sana malam hari. Mungkin malah nggak bisa jalan sama sekali. Dan lagi, saya cukup kagum dengan bagaimana Pemerintah Kota Bandung mengatur tata kotanya sehingga tetap terlihat apik dan mewah. Macet pun jarang kami temui di kota ini, beda dengan kota besar lainnya.



Pohon Tabebuya di Braga yang sedang berbunga


Jajaka Bandung


Semarak Halloween terlihat di sebuah kafe di Braga


Sedikit kelelahan berjalan di sepanjang Jl. Braga, ditambah perut sudah keroncongan, kami menepi sejenak di sebuah warung kaki lima yang letaknya tak jauh dari Gedung Merdeka. Saya memilih nasi bakar teri untuk makan siang hari itu. Sedikit mengulas, nasi bakar yang saya makan porsinya lumayan besar, dengan teri yang bisa dibilang besar-besar dan lumayan banyak, serta lalapan laksana memberi makan kambing peliharaan. Soal rasa? Hmm, mungkin lidah saya memang tulen lidah Jogja. Nasi bakar siang itu terasa hambar. Mungkin karena orang Sunda lebih suka makanan asin dan sedikit hambar ya. Entah, tetap saya habiskan, dua puluh lima ribu soalnya. 😢

Memberi makan manusia atau kambing?


Selesai berjalan-jalan di Braga, kami berdua segera menuju Alun-alun Kota Bandung untuk sekedar bersantai menikmati sore, melihat bagaimana warga Bandung menghabiskan waktu sore mereka di alun-alun yang digadang-gadang child-friendly dan paling bersih se-Jawa Barat tersebut. Mungkin kami hanya belum beruntung, baru menginjakkan kaki di rumput sintetis di alun-alun tersebut selama 10 menit, hujan turun dengan derasnya. Sedang musimnya, sih. Kami akhirnya berteduh di basement alun-alun yang sekaligus menjadi tempat parkir. Menunggu hujan reda.

Penuh pengunjung!


Di depan Masjid Raya Bandung yang terletak di Alun-alun Bandung

Mie Kocok Bandung
Setelah rintik hujan berhenti, kami bersiap kembali ke penginapan dan beristirahat. Di jalan pulang, kami sempat mencicipi makanan yang paling populer di Bandung saat malam hari, apalagi di kala hujan. Bukan, bukan kue artis kok. Makanan khas Bandung yang tersusun dari mie, sayur, kuah, dan tetelan sapi ini terkenal dengan sebutan Mie Kocok Bandung (disebut juga Mih Kocok). Sudah pernah coba? Menurut review para food-bloggers, mie kocok di Bandung yang enak dan paling terkenal adalah Mih Kocok Mang Dadeng, terletak di Jl. Diponegoro, Bandung. Banyak blogger yang merekomendasikannya, tak banyak berpikir, kami segera menuju tempat makan tersebut karena tak begitu jauh dari penginapan. Malam itu pengunjung lumayan ramai, hujan sih. Kami memesan mie kocok biasa seharga Rp35.000,00.



Mungkin ekspektasi saya terlalu berlebihan dan tidak belajar dari pengalaman makan nasi bakar teri siang sebelumnya. Lagi-lagi lidah saya enggan menyantap makanan di depan saya. Bukan nggak enak kok, justru ini kesukaan para warga sekitar sini karena terbukti nggak pernah sepi pengunjung. Hanya saja lidah Jogja saya kumat lagi, rewel tepatnya. Mih Kocok Mang Dadeng disajikan ciamik dengan mangkok besar, berisi mie kuning pipih mirip kwetiau, dengan irisan daun seledri, kuah kaldu gurih, tetelan kaki sapi yang kenyal (bukan alot), ditaburi bawang goreng renyah, dan ditemani beberapa potong irisan jeruk limau. Sepertinya lezat bukan? Tapi saya nggak doyan. Sigit gimana? Dia sih kayaknya doyan-doyan aja, dia bilang kuahnya enak, hanya tetelan kakinya saja yang bukan selera dia. Lah, saya kok semua bukan selera ya? Tiga puluh lima ribu meeen. 😢

The holy moly Mih Kocok

Selesai mencicipi mie kocok, kami segera pulang, takut hujan kembali turun deras. Di perjalanan pulang, kami mampir di sebuah warung kaki lima yang menjual jajanan malam seperti kue serabi dan minuman hangat. Nah, kali itu saya belajar untuk tidak berekspektasi berlebih, saya sudah menyiapkan lidah saya agar low-expectation. Tapi ternyata serabinya enak! Akhirnya ada makanan Bandung yang cocok sama lidah ini, dan murah pula, cukup delapan ribu untuk seporsi serabi seukuran piring sedang. I will be forever grateful for this.



Bandung Selatan
Hari kedua kami di Bandung, Minggu (28/10), dimulai dengan sarapan serabi sisa semalam yang tidak sempat kami habiskan karena porsinya terlalu besar, juga drama salah menerobos jalan tol yang untung nggak ada petugasnya. Ya, di hari kedua, kami sudah check-out pagi-pagi dari penginapan karena akan melakukan perjalanan jauuuuh ke arah selatan Bandung. Tujuan kami hari itu adalah Kecamatan Ciwidey yang terletak di Kabupaten Bandung bagian selatan dengan dua tujuan tempat wisata: Ranca Upas dan Kawah Putih Ciwidey.

Perjalanan dari Kota Bandung sampai ke Kecamatan Ciwidey dengan sepeda motor memakan waktu kurang lebih dua jam. Beruntung, pagi itu cuaca sangat cerah dan matahari bersinar terik. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Kami sampai di sana sekitar pukul 11.00, segera kami menuju tempat wisata pertama yaitu Ranca Upas.

Ada apa sih di Ranca Upas? Sejauh pengamatan saya sih, ada bumi perkemahan, ada penangkaran rusa, ada lapangan luas, banyak pepohonan tinggi, dan juga kebun tanaman bunga untuk berfoto. Tiket masuknya pun tidak begitu mahal, cukup Rp10.000,00 per orang. Kami berdua hanya menghabiskan waktu di tempat penangkaran rusa yang siang itu lumayan ramai oleh pengunjung, sebagian besar adalah anak-anak usia Sekolah Dasar. Rusa-rusa di penangkaran ini dibiarkan bebas di hamparan padang rumput terbuka, tentunya dengan dikelilingi pagar tinggi. Pengunjung boleh masuk tempat penangkaran dan membeli wortel ataupun kangkung untuk diberikan kepada rusa-rusa tersebut. Ada belasan rusa yang bisa diajak berinteraksi di penangkaran tersebut, dari yang masih kecil hingga rusa dewasa. Menyenangkan sebenarnya, hanya saja siang itu matahari bersinar terlalu terik. Kami terpaksa mengalah dari rusa dan lebih banyak berteduh, setelah lelah berfoto tentu saja.


Beberapa pengunjung memberi makan rusa






Pukul 13.00, kami berpindah lokasi. Tujuan wisata terakhir hari itu adalah Kawah Putih Ciwidey yang letaknya tak jauh dari Ranca Upas, sekitar 5 menit naik motor. Ah iya, jalanan di Ciwidey ini mirip sekali dengan jalan di Kabupaten Gunungkidul, menanjak naik, banyak turunan curam, belokan tajam, dan juga rawan kecelakaan, memang harus hati-hati benar bila mengendarai kendaraan sendiri. Sesampainya di Kawah Putih, kami segera memarkir sepeda motor dan membeli tiket masuk seharga Rp70.000,00 untuk dua orang sudah termasuk tiket naik angkot. Angkot? Benar. Ada dua cara untuk dapat sampai ke kawah putih, bisa menaiki mobil sendiri (dengan membayar (Rp150.000,00) atau naik angkot bernama Ontang-Anting yang memang sudah disediakan oleh pihak pengelola (cukup dengan membayar tiket di loket masuk). Dan akhirnya kami memilih naik angkot. Ya iyalah.

Perjalanan menuju kawah kurang lebih memakan waktu 15 menit. Pengemudi angkot Ontang-Anting yang saya naiki sepertinya sedang terlalu bahagia. Sepanjang jalan (yang terjal, penuh belokan, dan banyak tanjakan tajam), kami serasa naik roller coaster. Mohon interpretasikan sendiri.

Kawah Putih Ciwidey ukurannya jauh lebih besar dari Kawah Sikidang di Dieng yang pernah saya kunjungi dahulu. Bau belerangnya juga tidak sekuat Sikidang, karena tempatnya sangat luas sehingga aroma kurang enaknya jadi agak tersamarkan. Pemandangannya juga jauh lebih indah dengan hamparan tanah lapang luas yang tertutup endapan belerang putih dan mineral lainnya. Tidak mau berlama-lama di kawah (karena tidak tahan baunya juga sih), kami akhirnya memutuskan untuk segera pulang. Waktu menunjukkan pukul 15.00, sedangkan kereta menuju Jogja akan berangkat setelah Magrib.






Segera saja kami tancap gas menuju stasiun. Mengejar waktu, menerobos hujan yang tiba-tiba turun dengan derasnya, hari yang sungguh luar biasa. Hingga akhirnya kami harus berpisah di Stasiun Bandung. Saya naik kereta pulang menuju Jogja, sedangkan Sigit kembali ke Jakarta. Liburan yang amat berkesan. Melelahkan, namun sangat menyenangkan. Bandung memanglah kota besar yang sangat ramah wisatawan, yang bahkan sudut terkecil di jalannya pun menyimpan banyak cerita. Terima kasih sudah membaca cerita perjalanan saya kali ini, jika ada pertanyaan bisa ditanyakan di kolom komentar atau melalui email. Semoga sehat selalu! Bon Voyage!


Yogyakarta, 10 Desember 2018


Post a Comment

0 Comments