Voyage Chapter Nineteen: Melepas Rindu di Malang

“Kak, ada promo nih dari KAI, mau ngelayap ke mana gitu nggak?” ujar Mawas, adik saya awal bulan Desember lalu. Saat itu PT Kereta Api Indonesia sedang mengadakan promo 13 Lucky Days atau 13 Hari Keberuntungan untuk pembelian tiket kereta keberangkatan mulai 1 Desember hingga  3 Februari. Wah, lumayan nih. Kapan lagi bisa naik kereta eksekutif dengan tiket seharga 75ribu kan? Padahal biasanya harganya 300ribuan. Dan akhirnya, terjadilah liburan dadakan tersebut. Terima kasih PT KAI. Sering-sering promo, please.

"I wandered everywhere, through cities and countries wide. And everywhere I went, the world was on my side." ― Roman Payne


Sebelumnya kami berdua memang sudah merencanakan liburan akhir tahun sebagai bentuk penyegaran pikiran agar kembali waras, khususnya untuk saya yang saat itu baru saja selesai menjalani berbagai macam ujian demi menyelesaikan kuliah profesi. Setelah mengeliminasi Bali, Lombok, dan Surabaya dari daftar, akhirnya kami memilih Malang sebagai tempat liburan akhir tahun. Kota yang sudah tak asing lagi bagi saya yang dua dan empat tahun lalu sempat melancong ke sana.

Berangkat
Seperti liburan saya sebelumnya di Bandung, liburan di Malang kali ini saya juga membuat itinerary yang berisi jadwal liburan, lengkap dengan alamat destinasi dan jamnya. Kali ini saya “sedikit” lebih mematuhi itinerary, karena memang seharusnya demikian, hitung-hitung belajar menepati janji kepada diri sendiri.

Kami berdua berangkat menaiki kereta Malioboro Ekspres, dengan gerbong eksekutif pertama yang kami naiki berdua. Terlalu awal kami datang, masih banyak bangku lowong di dalam gerbong malam itu. Kereta akhirnya bertolak dari Stasiun Yogyakarta (YK) pada hari Senin (10/12) malam pukul 20.40 menuju Stasiun Malang (ML). Tak banyak yang kami berdua lakukan di dalam kereta malam itu. Walaupun kereta yang kami naiki termasuk nyaman untuk tidur, perasaan terlalu excited tetap tak bisa membuat kami terlelap. Lantas apa yang kami lakukan? Yah, mendengarkan musik, mengobrol tentang apa saja, dan... makan bekal! Sandwich sosis telur buatan Mawas sore itu entah mengapa terasa lumayan nikmat.


Sampai di Malang
Kereta Malioboro Ekspres yang kami naiki menempuh perjalanan sekitar 8 jam dari Stasiun Yogyakarta (YK) hingga sampai di Stasiun Malang (ML). Masih dengan muka setengah mengantuk, kami akhirnya sampai di Stasiun Malang (ML) pada Selasa (11/12) sekitar pukul 05.00 dan segera menuju musola di sana untuk sembahyang Subuh. Saat itu saya belum percaya kalau sudah menginjakkan kaki di Malang, sebab seingat saya kota ini terkenal akan hawa sejuknya. Pagi itu terasa gerah, yah mungkin karena kami belum mandi sih.



Stasiun Malang, pukul lima pagi

Sembari menunggu pukul 08.00, waktu yang dijanjikan oleh pihak penyewaan sepeda motor untuk mengantarkan armadanya ke area stasiun, kami berdua memilih untuk menghabiskan waktu berjalan-jalan di sekitar stasiun, mengunjungi pasar tradisional terdekat untuk mencicipi makanan tradisional warga sekitar, menikmati pagi dengan berkeliling kota menaiki angkot, bermain sebentar di Kampung Warna Jodipan dan Kampung Biru Arema yang letaknya tak jauh dari stasiun, juga sarapan di sebuah foodcourt dekat stasiun. Pagi itu saya memesan nasi uduk dengan lauk kulit ayam crispy, sedangkan Mawas memesan pecel sayur khas Malang. Sebenarnya saya ingin mencicipi rawon asli Malang yang banyak dijual oleh pedagang foodcourt, tapi kok kurang sahih rasanya pagi-pagi makan nasi berkuah. Pagi itu cerah, suasana hati kami pun demikian.

Kampung Biru Arema


Kampung Warna Jodipan dari sisi bawah jembatan gantung

Cukup tiga belas ribu dijamin kenyang

Kami berboncengan menaiki sepeda motor matic yang kami sewa selama tiga hari (Rp70.000,00 per hari) menuju penginapan yang sudah kami pesan seminggu sebelum keberangkatan. Penginapan yang akan menjadi persinggahan kami kali ini bukan penginapan biasa, melainkan tempat yang sangat populer di Instagram dan biasanya penuh saat akhir pekan dan musim liburan, namanya Rumah Jaksa Agung. Lokasinya berada di Jl. Jaksa Agung Suprapto, Kota Malang. Karena saya sudah berjanji pada ibu pemilik penginapan (yang baik hati banget) untuk mempromosikan penginapan beliau di blog, jadilah sekarang saya membayar hutang janji tersebut. Berikut penampakan penginapan Instagramable bernama Rumah Jaksa Agung yang kami tempati kemarin.







Harga yang ditawarkan termasuk murah untuk pelayanan yang terbilang sangat memuaskan. Mulai dengan Rp39.000,00 per orang per malamnya, pengunjung sudah bisa mendapatkan fasilitas kamar tidur dengan kasur empuk, selimut hangat, kipas angin (ada yang ber-AC juga sepertinya), banyak colokan listrik (penting sekali nih), plus sarapan enak dan mengenyangkan. Jika lain kali liburan ke Malang, saya rekomendasikan tempat ini untuk menginap, sekalian wisata selfie gratis lumayan kan?


La Vie en Rose 😍

Setelah menaruh barang-barang bawaan di kamar, kami berdua segera menuju destinasi pertama hari itu, yaitu Museum Zoologi Frater Vianney yang berada di Jl. Raya Karangwidoro, tidak jauh dari Gereja Katolik Santo Andreas. Di luar ekspektasi, kami kira museum ini akan seperti Museum Biologi yang ada di Bandung, ternyata tidak. Bisa dibilang, museum ini adalah museum yang berisi koleksi satwa tangkapan sendiri, tepatnya tangkapan Frater M. Vianney yang  pernah bertugas sebagai guru ilmu hayat. Frater Vianney sendiri sering dipanggil “Frater Ular” oleh warga sekitar karena kegemarannya menangkap dan mengoleksi ular. Koleksinya bisa dilihat di museum tersebut, semua apik diawetkan di dalam lemari-lemari kaca. Tak hanya ular, banyak pula koleksi awetan reptil maupun binatang laut seperti kepiting, penyu, juga kerang yang dapat ditemukan di sana. Biaya masuknya? Gratis kok.



Semua koleksi tertata rapi

Selesai berkeliling museum, kami segera menuju Universitas Negeri Malang untuk sekedar beristirahat dan melihat keadaan kampus di sana. Beruntung, kami boleh menjadi pengunjung perpustakaan kampus. Siang itu kami habiskan dengan mencoba membaca buku yang sekiranya berguna untuk menambah ilmu. But we eventually had a good nap right there. Losers.



Malam harinya, kami makan malam dengan makanan khas Malang yang belum saya jumpai di kota lain, apalagi Jogja, yaitu Cwie Mie. Ah iya, citarasa makanan di Malang tidak begitu jauh berbeda dengan makanan yang ada di Jogja. Lidah saya cocok-cocok saja dengan semua makanan di kota ini. Kembali ke Cwie Mie, masakan ini mirip mie ayam kebanyakan sih sebenarnya, hanya saja bumbu di kuahnya berbeda, juga tidak menggunakan ayam bumbu manis seperti mie ayam pada umumnya, melainkan irisan daging ayam berbumbu gurih seperti yang disajikan di yamie. Toppingnya juga bisa ditambah macam-macam, seperti ati ampela, bakso, ataupun ceker ayam. Berikut penampakannya.



Sejuknya Kota Batu
Hari kedua di Malang, tepatnya hari Rabu (12/12) kami gunakan untuk berwisata alam di daerah Kota Batu, tepatnya di kawasan wisata Coban Talun. Setelah check-out dari homestay, kami segera berangkat ke daerah yang terkenal bersuhu dingin tersebut. Kurang lebih 1 jam waktu yang ditempuh untuk menuju ke sana. Jalan yang dilalui lumayan mudah, walaupun menanjak dan berkelok-kelok, hal ini dikarenakan Kota Batu merupakan kawasan dataran tinggi dengan banyak bukit dan hutan yang masih sangat asri.

Sampai di kawasan wisata Coban Talun, kami memarkir kendaraan kami. Coban Talun sendiri adalah nama air terjun yang terletak di daerah tersebut, namun saat itu sedang ditutup untuk pengunjung. Kawasan wisata ini sebenarnya mirip seperti Ranca Upas di Bandung, ada berbagai macam wahana wisata yang bisa dipilih pengunjung, seperti Pagupon Camp, Apache Camp, ataupun Kebun Bunga. Ketiganya menyajikan spot-spot menarik untuk berfoto ataupun sekedar bersantai menikmati udara pegunungan yang sejuk. Setiap wahana mengharuskan pengunjung untuk membayar RP10.000,00 per orang, tanpa batasan waktu kunjungan. Kami hanya sempat mengunjungi Pagupon Camp (yang terdapat rumah-rumah berbentuk Pagupon atau rumah burung merpati) dan Kebun Bunga untuk sekedar menikmati udara sejuk dan berfoto di sana. Hari itu mendung, kami harus segera melanjutkan perjalanan kami ke tujuan selanjutnya atau kami akan kehujanan.
















Mengunjungi Budhe Tersayang
Sekitar pukul 15.00, kami memutuskan untuk kembali ke Kota Malang. Salah satu tujuan kami ke Malang adalah mengunjungi saudara jauh kami yang tinggal di kawasan Perumahan Griya Shanta di kota tersebut. Budhe Tutik, begitu kami memanggil beliau, adalah sepupu ibu kami yang sudah sekitar 25 tahun mengabdi menjadi dosen teknik di Universitas Brawijaya dan sekarang sedang menempuh studi S3-nya. Tak berbeda dari terakhir kami bertemu beliau, sambutan ramah dan supelnya menyambut kami sore itu. Juga semangkok bakso Malang panas yang kebetulan lewat di depan rumah budhe.

Pada kesempatan itu, kami tak hanya berjumpa dengan budhe, ada pula dua orang sepupu kami yang baru bisa kami temui pertama kali seumur hidup kami. Maklum, tempat tinggal yang sangat jauh sulit membuat kami bersua, bahkan hampir 20 tahun lamanya. Mas Tyo dan Mas Hauzan, keduanya masih menempuh studi S1 di Universitas Brawijaya, yang satu jurusan Teknik Industri, yang satunya lagi jurusan Ilmu Pemerintahan. Pertemuan yang berawal canggung namun berakhir akrab. Boys will be boys then. Malam itu kami tidur di rumah budhe setelah sebelumnya mandi sore dan menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama anggota keluarga lainnya di ruang TV. Ramai, hujan turun deras, namun hangat.


Hari Terakhir
Tak banyak tempat yang kami kunjungi di hari terakhir kami di Malang (13/12). Destinasi terakhir kami pada liburan kali ini adalah Jawa Timur Park 3 yang letaknya tak jauh dari Jatim Park 1 dan 2, masih di kawasan wisata Kota Batu. Jawa Timur Park 3 sendiri masih tergolong baru, dibuka sekitar Desember 2017 dan menawarkan banyak wahana yang sama menariknya dengan dua Jawa Timur Park sebelumnya. Harga tiketnya pun sama, Rp 100.000,00 untuk tiap wahana utama (harga berubah saat akhir pekan). Wahana yang paling populer adalah Dino Park dan The Legend Star. Dino Park merupakan wahana yang banyak diminati anak-anak karena menawarkan sensasi bertemu dengan replika dinosaurus dan memberikan banyak infomasi menarik seputar kehidupan purbakala. Sedangkan The Legend Star hampir mirip seperti Museum Madame Tussauds yang lebih banyak menampilkan tokoh-tokoh legendaris dunia dalam bentuk patung yang mirip dengan aslinya. Banyak pula replika bangunan-bangunan terkenal di penjuru dunia dalam wahana ini. Selain dua wahana utama ini, Jatim Park 3 juga menawarkan wahana lainnya seperti The Zombie House, Infinite World, Ice Cream World, dan masih banyak lagi. Semua patut dicoba.



Mr. President!

Di sini kok sapinya warna-warni ya?



Boy si Anak Jalanan




Persediaan macaron untuk setahun penuh



Mini Japan

Setelah mengemasi barang bawaan dan berpamitan dengan budhe dan kedua sepupu kami, kami segera menuju Stasiun Malang (ML) untuk bertolak pulang ke Jogja. Perjalanan liburan 3 hari yang cukup menguras tenaga. Kami tidak akan pernah bosan mengunjungi kota ini lagi dan lagi. Terima kasih sudah mau membaca cerita perjalanan saya, jika ada pertanyaan bisa ditanyakan di kolom komentar atau melalui email. Semoga sehat selalu! Bon Voyage!


Yogyakarta, 30 Desember 2018

Post a Comment

2 Comments