Voyage Chapter 21: Pantai Menganti, Jangan Mati Dulu, Jangan Hari Ini

Ada berapa orang yang percaya kelak akan ada kehidupan yang lebih kekal setelah kematian? Banyak, saya tidak tahu jumlah pastinya. Dan tidak penting juga mengetahui berapa jumlahnya, toh itu urusan masing-masing. Saya sebagai orang yang ibadahnya terhitung biasa saja dan mungkin pahalanya belum sebanyak teman sebaya saya pun meyakininya. Kehidupan setelah kematian menurut saya adalah kekal, dan kehidupan sebelumnya tidak akan pernah bisa terulang lagi. YOLO is not a joke, baby.

"Why should I fear death? If I am, death is not. If death is, I am not. Why should I fear that which cannot exist when I do?" - Epicurus

Sebentar, mengapa saya tiba-tiba membahas kematian? Jadi, saya kemarin baru saja disadarkan secara tidak langsung oleh Gusti Allah. Disadarkan oleh tiga kejadian yang langsung membuat akal pikir saya mengingat kematian, bahwa ia dapat menghampiri kapan saja, sepuluh tahun lagi, bulan ini, dua hari lagi, atau detik ini juga. Kejadian apa sajakah itu? Akan saya sisipkan di cerita perjalanan ke-sekian saya kali ini. Lanjut bacanya ya.


Kebumen
Minggu, 16 Juni 2019 kemarin, dua teman saya, Shindy dan Indri mengajak saya untuk menemani mereka menghadiri pesta pernikahan salah satu teman dekat masa sekolah kami, Azizah yang dilaksanakan di GOR Kecamatan Petanahan, Kebumen. Pernikahankah yang mengingatkan saya akan kematian? Bukan.

Rencananya, kami bertiga akan sekalian berwisata di salah satu pantai di daerah sana, mumpung ada alasan untuk pergi jauh. Syahdan, tercetuslah Pantai Menganti sebagai tujuan utama liburan kami setelah melihat review dan juga banyak foto yang membuat kami yakin bahwa Menganti adalah surga tersembunyi di Kebumen.

Kami berangkat pukul 07.00 WIB dari Jogja dan sampai di Kebumen sekitar pukul 09.00 WIB. Kemudian, kami menikmati sarapan di depan Pasar Petanahan, lalu menuju SPBU terdekat untuk berganti pakaian formal dan bersiap berangkat ke pernikahan teman kami. 



Happy Wedding, Azizah!



Setelah mengunjungi pesta pernikahan Azizah, kami bertiga segera bertolak menuju ke arah barat Kabupaten Kebumen, tepatnya menuju Desa Karangduwur, Kecamatan Ayah di mana Pantai Menganti terletak.

Pengingat Kematian Pertama
Medan yang ditempuh untuk menuju Desa Karangduwur tidaklah mudah. Hampir mirip jalan menuju beberapa pantai di Gunungkidul, Yogyakarta. Di dalam mobil, kami terus menerus berdoa agar diberi keselamatan oleh Yang Maha Memberi Kehidupan. Musababnya, jalan begitu terjal, turun dengan derajat kemiringan drastis, naik dengan derajat mengerikan pula. Beberapa kendaraan pun saling berkebutan dengan kecepatan tinggi. BERKEBUTAN DI GUNUNG TERJAL MACAM INI. Sempat pesimis dapat melanjutkan perjalanan ketika kami sudah setengah jalan, namun kembali maju setelah bertanya kepada penduduk setempat yang menjawab, “Mboten adoh, Mas. Wis mboten munggah-munggah meneh.” (Sudah tidak begitu jauh (pantainya), Mas. Sudah tidak menanjak lagi jalannya.) Dan ternyata “tidak menanjak” menurut beliau sama dengan “menanjak”-nya kami. SUDAH KUDUGA.


Kembali ke perihal kematian. Saya memang punya interpretasi tersendiri yang mungkin berlawanan dengan banyak kepala mengenai pemahaman surga dan neraka. Menurut hemat saya, surga bukanlah semata-mata tempat berteduh yang indah, banyak bidadari dan berbagai macam privilege-nya. Surga adalah tempat di mana jiwa-jiwa yang pergi dengan tenang kembali hidup. Bukan melulu wujud tempatnya, melainkan roh dari tempat itu sendiri. Dan bilamana pada perjalanan hari itu saya celaka, akankah saya mendapatkan perjalanan kilat menuju surga? Wallahualam.

Pada akhirnya, setelah ratusan basmalah terapal, kami sampai di Pantai Menganti. Pantai yang dikelilingi bukit-bukit tinggi hijau yang membuat siapapun yang menyaksikan terperangah. Pengorbanan yang berbuah manis. Kami banyak merapal hamdalah setelah sejenak menenangkan diri. Menikmati indahnya hamparan pasir putih dan bebatuan karang, satu jam tidaklah cukup. Terlalu ecstatic, kami lupa bahwa kami harus menempuh medan perjalanan pulang SAMA DENGAN medan kami berangkat tadi.




Pantai Menganti
Sedikit cerita tentang Pantai Menganti, biaya untuk mengunjungi pantai ini tidaklah mahal untuk ukuran pantai besar yang sudah memiliki banyak pengunjung tahunan. Kami hanya membutuhkan uang Rp12.500 per orang untuk membeli tiketnya, sudah termasuk untuk parkir dan kendaraan wisata berbentuk mobil pick-up berkursi yang siap membawa pengunjung berkeliling dan akan mengarahkan ke berbagai objek wisata. Pelayanan yang ramah dan nyaman juga kami dapatkan di pantai ini karena petugas memiliki koordinasi yang baik dan sudah sangat paham dengan keadaan di pantai dan karakter pengunjung.

Kami menghabiskan siang kami hari itu dengan menyusuri pantai, berfoto di balik bebatuan karang, bermain air, dan bercengkerama. Tak sedikitpun perihal kematian teringat di benak. Terlalu menikmati pantai. Sesaat sebelum pulang, akhirnya teringat medan yang harus dilalui, dan istighfar mulai terapal dalam hati.







Pengingat Kematian Kedua
Kedua teman saya menyarankan agar kami menyewa sopir saja untuk perjalanan pulang. Ide bagus. Yah, daripada ratusan istighfar terapal lagi kan? Dan kami meminta tolong petugas parkir untuk mencarikan seseorang yang bersedia menjadi sopir mobil kami, karena menurutnya, memang banyak jasa seperti ini biasanya.

Hingga akhirnya datanglah seorang bapak-bapak, seusia bapak saya mungkin, ke arah mobil kami. Beliau tersenyum ramah sembari bertanya, “Takut pulangnya, Mas?”

Tanpa banyak basa-basi, beliau segera masuk mobil di posisi sopir. Kami pun mengikuti. Setelah ngalor ngidul ngobrol asyik dengan si bapak, akhirnya kami tahu bahwa kami berada di tangan yang sangat tepat. Beliau bernama Parso, menjabat sebagai Kabid Humas Pengelola Pantai Menganti, putra daerah asli yang sudah berjuang keras membangun wisata di desanya ini hingga banyak diketahui umum seperti sekarang. Pembawaannya ramah, berwibawa, tapi juga sangat akrab. Beliau menceritakan bagaimana beliau sering menemui pengunjung seperti kami yang “takut pulang” dan dengan senang hati mengantarkan. Pak Parso sangat ramah, beliau senang berbicara tentang bagaimana manusia di bumi ini harus bersikap. Salah satu kalimat beliau yang masih saya ingat adalah:
“Saya itu mencoba kenalan sama orang-orang baru bukan untuk maksud cari untung atau apa, Mas, tapi sebagai sesama kan kita harus menjalin silaturahmi yang baik, nggak salah kan.”

Yang membuat kami merinding adalah saat beliau bercerita bahwa memang sering terjadi kecelakaan di jalan menuju Pantai Menganti, dikarenakan pengunjung belum begitu paham medan dan kurang waspada. Selain faktor lelah, kurang fokus sebentar saja nyawa taruhannya. Kami mengangguk cepat, sangat setuju. Pak Parso juga bercerita pula bahwa hal ini adalah tanggung jawab beliau dan merasa sangat berdosa bila ada pengunjung yang terlantar seperti kami. Luar biasa sekali dedikasi macam ini. Oh iya, teman-teman kalau mau ke Pantai Menganti, bilang saja kenal Pak Parso, Insya Allah tiket masuk gratis. Itu pesan dari beliau kepada kami, sih. Hehe.

Pak Parso juga merupakan sosok yang sangat supel dan disegani. Banyak orang di perjalanan pulang tersebut yang beliau sapa dan menganggukkan kepala seraya tersenyum sebagai tanda hormat. Sayangnya, kami tak sempat berfoto dengan beliau. Begitu sampai di jalan yang sudah aman, beliau turun dari mobil, salah satu anggotanya sudah menjemput dengan sepeda motor dan beliau langsung naik dengan cepat, dan menolak dengan tegas amplop berisi imbalan yang diserahkan salah satu teman saya. Kami terpana. Bingung. KOK MASIH ADA ORANG BAIK BANGET BEGINI YA ALLAH. Dan mulai dari saat itu, saya berjanji pada diri sendiri, saya harus menjadi orang baik. Baik bagi diri sendiri dan orang yang ada di sekitar diri saya.

Pengingat Kematian Ketiga
Kami pulang dengan rasa lelah namun takjub. Sepanjang perjalanan pulang, riuh ramai sekali mulut kami tak henti bercerita, tanpa memperhatikan jalanan sekitar yang mulai gelap. Ini sisi menyenangkan perjalanan yang kerapkali terlewatkan: cerita seru yang merangkum seluruh kegiatan seharian. Kami pulang melewati Jalan Lintas Selatan yang cenderung lengang, ditemani langit mendung, angin sepoi-sepoi, dan bulan purnama yang bersinar. Lelah dan mengantuk.


Laju kecepatan kami terhenti setelah melihat banyak mobil polisi dan ambulans berhenti di bagian pinggir jalan yang dikerumuni banyak orang. Sirine berbunyi nyaring dan banyak kendaraan mendekat pelan. Seonggok daging seukuran betis orang dewasa berlumuran darah tergeletak di tanah. Astaghfirullahaladzim.

Kami melanjutkan laju kendaraan kami, dengan pelan dan teratur. Ke mana suara riuh ramai tadi? Sudah tak terdengar. Senyap, dengan kewaspadaan yang meningkat pesat. Kecelakaan. Ada kecelakaan besar tadi di sana. Beberapa bagian aspal berlumuran darah, ada yang sudah ditutupi tanah pula. Kami tak mau banyak bertanya berapa jumlah korbannya, apa yang menyebabkan, bagaimana keadaan korban dan kendaraannya. Kematian.

Teruslah mengingat dan meresapi kematian, dan perlahan hitamnya dosa kita akan terkikis tipis. Saya yakin. Dan pada akhirnya kematian memang bukanlah sesuatu yang layak ditakuti. Justru ia adalah sahabat bagi kita yang hidup. Sebab adanya kehidupan teriring dengan adanya kematian. Resapi makna kematian, kemudian berjalanlah dengan tegap. Sejatinya, kematian tak akan hadir kecuali tugas kita di sini telah selesai. Maka selesaikanlah, dan bersiaplah pulang.


Yogyakarta, 17 Juni 2019




Post a Comment

1 Comments