Culinary Episodes: Curahan Hati Kawan yang Menyentuh di Warung Layar Sentuh

Belakangan, saya rindu dengan seorang kawan yang sudah sekitar lebih dari dua tahun tidak saya temui. Walaupun kami berdua masih berkomunikasi lewat gawai, kurang afdal rasanya bila tak bersua secara langsung, terlebih masih dalam suasana Lebaran. Dan pada akhirnya, saya memutuskan untuk mengajaknya makan siang bersama kemarin, Minggu, 23 Juni 2019.

“Friendship is born at that moment when one person says to another, ‘What! You too? I thought I was the only one.” C.S. Lewis


Putri, begitu panggilan akrabnya, adalah salah satu kawan sekelas saya di bangku perkuliahan S1. Perawakannya kecil dengan postur badan ideal, muka oval dan rambut pendek tergerai, disertai senyumnya yang merekah tiap kali menyapa. Putri adalah teman pertama saya saat menjadi mahasiswa S1. Kami menjadi akrab karena sama-sama kebingungan dalam mengisi KRS pertama kami saat itu, 2012 silam.

Kami makan siang di Warung Layar Sentuh yang terletak di Jl. Palem Raya, Tambakan, Sinduharjo, Ngaglik, Kabupaten Sleman. Sebuah rumah makan yang belum begitu lama berdiri namun sudah ramai dibicarakan orang karena tempatnya yang syahdu dan nyaman untuk makan atau sekedar menikmati secangkir minuman hangat dan bercengkerama. Saya sih setuju dengan review para pengunjung di sini. Selain suasananya seperti di rumah sendiri, banyak pepohonan rindang menghijau, ada kolam renang kecil untuk anak-anak bermain, dan banyak tempat duduk yang membuat siapa saja betah lama-lama di sana. Mungkin sangat cocok bagi mahasiswa yang sedang berjuang menyelesaikan tugas akhirnya, seperti Putri.










Walau saya sudah menyelesaikan pendidikan S1 dan kuliah profesi, kawan saya yang satu ini masih berjuang menyelesaikan skripsinya dan mengejar waktu agar tak melewati ambang waktu studinya yang sudah hampir tujuh tahun ini ia lewati. Putri memang bukanlah mahasiswi yang bodoh atau sulit paham, ia hanya belum ahli saja dalam membagi waktu dan membuat prioritas. Ia banyak bercerita pada saya siang itu, bagaimana ia lebih banyak disibukkan dengan pekerjaannya sebagai make-up artist yang cukup laris di daerah Jogja bahkan sampai luar kota sampai menelantarkan skripsinya. Dan hal ini pulalah yang membuatnya sering diwanti-wanti dosen pembimbingnya agar tak terlena dengan dunia kerja sebelum menyelesaikan studi S1-nya, mumpung belum terlambat.

Menu makan siang kami sedikit berbeda, Putri memesan nasi putih dengan telur puyuh balado dan cumi saos hitam; sedangkan saya memesan nasi merah dengan tumis sayur tahu dan cumi saos hitam. Sebenarnya banyak sekali pilihan sayur dan lauk yang ada di tempat makan ini, pengunjung hanya tinggal menunjuk dan karyawan yang ada di balik meja akan mengambilkan. Oh iya, hanya makanan Indonesia saja yang ditawarkan, dan kesemuanya terlihat menggoda. Ditemani es teh tarik dan teh manis hangat, kami menikmati makan siang di bawah rindangnya pepohonan. Siang itu menyenangkan, langit begitu cerah dan semilir angin menyelimuti kami.






Sembari menikmati pisang goreng dengan taburan gula aren sebagai menu pencuci mulut, kami melanjutkan bercerita. Putri mulai mengernyitkan dahi dan menghela nafas ketika saya mulai membahas masalah pekerjaan. Maklum, banyak teman sebaya kami yang sudah tegas memilih dan menekuni pekerjaannya untuk masa mendatang. Putri tampak gusar membayangkan apa yang akan ia kerjakan setelah lulus. Ibunya di kampung halaman menyuruhnya menjadi guru honorer, di sebuah sekolah di mana saudaranya bekerja. Dari raut mukanya, kawan saya ini sepertinya keberatan dengan pilihan ibunya, ia sebenarnya tidak ingin mengajar, dan mungkin akan memilih pekerjaan di bidang lain yang lebih sesuai dengan kegemarannya sekarang, make-up. Bahkan Putri sempat menyesal mengapa ia dulu memilih kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan bukan Tata Rias. Saya tertawa kecil.



Sebagai kawan yang baik, saya juga tak bisa menyalahkan pilihannya. Saya meyakini bahwa setiap orang memiliki prioritas, jalan, dan juga problema masing-masing. Bagaimana ia menyikapi itu adalah cerminan dari pribadi tersebut. Sebagai kawan yang baik pula, saya hanya bisa mendukung dan membantu semampu saya agar jalan yang dipilihnya tak lagi membuatnya sulit. Dan apa yang sudah dicapai orang lain bukan semata tanpa usahanya. Memang, hidup adalah perkara dilihat dan melihat, tapi jangan hanya melihat yang terlihat; urip kui sawang sinawang, mula ojo mung nyawang sing kesawang.


Yogyakarta, 24 Juni 2016


Post a Comment

0 Comments