Culinary Episodes: Jiwa Jawi, Kuliner yang Bersembunyi

Akhirnya bisa menggoreskan tinta lagi di halaman yang sudah lama tak tersentuh ini. Rindu. Kiriman terakhir blog ini tertanggal Januari 2019, yang berarti bahwa selama lebih dari 4 bulan belakangan saya tidak pergi ke mana-mana karena ada urusan yang harus diselesaikan. Ya, saya kemarin disibukkan dengan “menjual diri” dan mengikuti beberapa rekrutmen pekerjaan. Dan akhirnya, saya sekarang sudah memiliki pekerjaan. Alhamdulillah, Tuhan Yang Maha Memberi Kejutan mengizinkan saya menjabat sebagai staf ahli Divisi BIPA pada Departemen Penelitian dan Pengembangan di Pusat Bahasa Universitas Islam Indonesia setelah melalui program rekrutmen yang panjang dan rumit. Terhitung bulan Maret lalu, saya resmi menjadi bagian dari Tenaga Kependidikan Universitas Islam Indonesia. *confetti flies*

“Kok nggak jadi guru sih, Ras? Kan udah S.Pd., Gr.?”

Kalau Anda menanyakan pertanyaan di atas, berarti Anda orang ke tiga puluh sekian yang demikian. Saya sudah menuliskan di beberapa postingan bahwa saya tidak ada niatan sama sekali untuk harus menjadi guru. Pekerjaan apapun yang saya anggap cocok untuk saya pasti akan saya coba dan tekuni, tak terkecuali menjadi seorang linguist-researcher. Doakan, semoga saya kuat menjalani pekerjaan yang banyak deadline ini.

Oh iya, di sudut postingan yang baru ini, saya ingin bercerita seputar tempat makan (karena saya hobi jajan alias beli makanan yang entah itu sehat atau tidak, yang penting bahagia) yang tidak hanya menjual makanan dan minuman saja, namun juga keindahan tempat serta ambience yang menurut saya patut banyak orang tahu. Saya juga akan menyisipkan beberapa opini dan cerita-cerita ringan di sudut ini. Semoga bisa istiqomah deh.

Culinary Episodes yang pertama akan membahas Jiwa Jawi Jogja. Baru pertama kali dengar? Saya juga belum lama ini tahu tempat ini kok. Berdiri sejak awal tahun 2019, Jiwa Jawi mengusung tema tradisional-modern eksentrik (terlihat dari desain bangunannya) dan menawarkan sebuah pengalaman sarapan, makan siang, atau makan malam dengan vibes syahdu, vintage, dan jarang ada. Saat masuk gerbang, saya merasa seperti memasuki rumah Jawa kuno lengkap dengan interior tradisionalnya, agak seram sih sebenarnya. Masuk lebih dalam lagi, saya merasa berada di kastil-kastil khas Eropa, lengkap dengan tembok batu berwarna gading yang terlihat megah dan menawan. Dua jempol untuk arsitek bangunan ini.





Terletak di Dusun Banyutemumpang, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, kafe-resto ini menyediakan menu makanan khas Indonesia seperti Pecak Tuna Asap, Ayam Tangkap khas Aceh, Iga Bumbu Rujak, Ayam Goreng Laos, Ayam Suwir Kecombrang, dan masih banyak lagi.  Camilan yang ada di Jiwa Jawi pun jarang ditemukan di tempat lain. Sebut saja seperti Kue Es Doger, Kue Es Teler, sampai Singkong Aren yang nikmatnya bukan main. Penikmat kopi juga tidak perlu khawatir, di sini tersedia manual brewed coffee yang banyaaaak macamnya. Tentu diracik oleh brewer yang ahli.

Pada tanggal 1 Mei 2019 kemarin, saya mengunjungi tempat ini bersama dua teman saya, Shindy dan Indri. Shindy memesan Ayam Tangkap, Indri memesan Iga Bumbu Rujak, dan saya memesan Ayam Goreng Laos. Minumnya simple sih, Iced Americano. Menurut hemat saya, masakan yang disajikan termasuk istimewa, enak dari segi rasa, pleasant dari segi tampilan, dan termasuk affordable. Penasaran? Cobain deh.

Ayam Tangkap

Ayam Goreng Laos

Iga Bumbu Rujak
Awalnya sih kami hanya ingin mencoba makanan di resto yang mulai banyak dibicarakan di Instagram ini, tetapi justru kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan berfoto. Semua sudut di Jiwa Jawi adalah spot foto yang ciamik. 1 jam foto-foto di sini nggak akan cukup, serius. Dua teman saya sih awalnya ragu dengan tempat ini, mengingat saat melihat lokasi di GMaps saja bingungnya bukan kepalang. Jiwa Jawi memang terletak jauuuuh dari perkotaan, Ia berdiri kokoh di sebuah desa kecil dan dikelilingi hutan dengan pepohonan yang tumbuh hijau. Romantis. Cocok dengan namanya, Jiwa Jawi.


Yogyakarta, 4 Mei 2019


Post a Comment

0 Comments