Bulan Oktober tahun 2013 adalah bulan yang sangat berharga dan penuh akan pengalaman menarik bagiku, pasalnya pada bulan inilah untuk pertama kalinya aku bisa mewujudkan keinginanku untuk bermain dengan alam, yaitu mendaki dan berkemah. Meskipun hanya dua hari satu malam, rasanya itu adalah harta karun yang teramat sangat berharga bagiku.
Jadi begini, pada pertengahan Oktober 2013 lalu, beberapa sahabatku ber-chatting ria di aplikasi Whatsapp, banyak yang mengusulkan agar kami mengadakan sebuah acara pendakian gunung (yang tentu saja menimbulkan beragam reaksi) atau kegiatan lain yang berhubungan dengan alam, maklum anak farmasi, jarang bersentuhan dengan dunia luar. Akhirnya kami sepakat untuk mendaki dan berkemah di Gunung Api Purba yang terletak di desa Nglanggeran di Patuk Gunungkidul. Setelah menetapkan tanggal dan mengurus segala persiapannya, kami putuskan untuk segera melaksanakannya dua minggu kemudian.
26 Oktober 2013 pukul 13:47, aku bergegas menaiki motorku untuk menjemput Denis di kostnya. Siang itu matahari bersinar sangat terik dan barang bawaanku juga sangat banyak, maklum baru pertama kali kemah sendiri, jadi ya butuh persiapan berlebih. Setelah sampai di kost Denis, aku masih harus menunggunya mengosongkan tas kemah yang ia siapkan sebelumnya (yang tampaknya talinya hampir putus) dengan tas biasa. Lumayan lama waktu yang dibutuhkan Denis, mungkin sekitar 15 menit. Padahal sebelumnya aku juga sudah memberitahu Tonny untuk bertemu di tempat penyewaan alat kemah “CANTIGI” di Jalan Ring Road Utara pukul 14:30 untuk mengambil perlengkapan kemah kami. Akhirnya kami sampai di “CANTIGI” dengan tidak tepat waktu, yah bagaimana mungkin bisa tepat waktu? Jalanan siang itu juga sangat macet. Beruntung, Tonny tidak badmood gara-gara kami (salahmu nih Den!).
Setelah mengurus pembayaran tenda dan lain-lain, kami segera membagi tenda, sleeping bag, kompor, dan peralatan lainnya pada dua sepeda motor kami, penuh memang, tapi mau bagaimana lagi? Mau tidak mau kami harus membawa semuanya agar acara kami bisa berjalan lancar. Setelah itu, kami langsung menuju kost teman kami yang satu lagi, Septyyana. Lagi-lagi harus berkutat dengan terik matahari dan asap jalanan, hingga kami tiba di Gang Suparman di daerah Jl. Taman Siswa dan bertemu Septyyana yang malah berjalan dengan santainya menuju motor kami. Setelah berunding menentukan jalur yang akan kami tempuh dan membeli beberapa air mineral tambahan, kami segera berangkat karena hari sudah semakin sore.
Waktu yang kami butuhkan untuk menuju lokasi terhitung singkat, karena kami hanya melewati Jl. Wonosari lalu naik ke jalan berkelok yang menanjak, hingga ke rute menuju Nglanggeran yang cukup panjang dan semakin berkelok-kelok lagi serta naik turun dan bergoyang (?), serasa sedang naik jet-coaster menurutku. Perjalanan kami ternyata membuahkan hasil, pasalnya, kami sampai disana dengan selamat dan saat itu matahari masih tersenyum pada kami (maksudnya masih belum gelap). Di sana, sudah banyak orang-orang, tepatnya remaja-remaja seusia kami, yang sepertinya juga akan berkemah di puncak seperti kami. Kami juga melihat rombongan mahasiswa salah satu universitas swasta di Jogja yang sedang melaksanakan makrab. Sangat ramai. Setelah membeli tiket dengan total Rp. 32.000,00 untuk 4 orang bermalam sudah termasuk biaya untuk penitipan dua sepeda motor, tibalah saatnya untuk kami menarik napas panjang, menyiapkan kuda-kuda, meregangkan otot-otot dan berdoa dengan khusyuk. Ya, kami akan segera menaklukan puncak Gunung Api Purba yang setinggi 700 meter di atas permukaan laut ini. Terdapat beberapa palang kayu dengan tulisan-tulisan menarik di setiap rute.
Batu-batu terjal, jalan-jalan menanjak, dan tangga-tangga batu sering kami jumpai dalam pendakian kami sore itu. Pepohonan di kanan kiri kami semakin menambah kesan nyata, yang seakan berbisik, “Ras, kamu beneran ada di hutan, jangan macem-macem lho.” Tak jarang bulu kudukku pun merinding saat kami mendengar suara-suara yang bukan suara kami. Mencekam, tak kugubris itu. Matahari sudah terbenam dan hari menjadi semakin gelap sedangkan kami bahkan belum separuh perjalanan. Sesampainya di Pos I, kami memutuskan untuk sejenak beristirahat dan mengeluarkan jurus narsis (?) kami untuk mengabadikan pemandangan dari atas gunung senja itu. Tak lama, kami segera melanjutkan pendakian, senter-senter mulai dinyalakan karena kami sudah tidak bisa melihat apapun lagi kecuali langit yang kala itu hanya ditemani beberapa butir bintang. Mendung.
Jalur pendakian yang kami lalui masih panjang dan semakin menanjak, sesaat setelah sampai di Gardu Pandang pertama, Denis terlihat lelah dan sepertinya sangat lemas, kami berhenti lagi, mengatur napas yang tersengal dan beristirahat, menghawatirkan Denis. Semilir angin yang berhembus semakin menusuk tulang. Dingin. Gelap. Hanya senter dan penglihatanlah harapan kami menuju puncak gunung. Setelah kurang lebih 20 menit mendaki dan melewati 2-3 gardu pandang, kami akhirnya mencapai Camping Ground I yang berarti bahwa kami bisa menurunkan barang-barang bawaan kami yang mungkin beratnya mencapai 10 kg bila ditotal. Lega. Tapi hanya sejenak kami melepas lelah karena kami harus segera membangun tenda sebelum malam semakin dingin. Setelah bekerja keras memasang tenda dan berhasil mendirikan dua tenda kokoh tepat pukul 19:00 (terhitung ajaib untuk anak farmasi yang baru pertama kali mendirikan tenda), langsung kami masukkan ransel-ransel serta bawaan kami ke dalam tenda yang besar dan kami bersama-sama masuk ke dalam tenda besar untuk sekedar bercengkerama dan sejenak mengeluh lelah. Luar biasa. Kami sendiri juga heran, ternyata kami bisa melakukan ini, padahal awalnya teman-teman kami yang lain tidak yakin.
Di luar tenda ternyata cukup ramai, Camping Ground I adalah satu-satunya tempat lapang yang luas dan dikelilingi batu-batu besar sehingga siapapun yang mendirikan tenda di sana akan merasa aman dan nyaman, termasuk kami. Ada sekitar empat sampai lima tenda yang sudah berdiri sebelum kami datang. Tenda-tenda tersebut memiliki penghuni yang berbeda-beda, ada mahasiswi-mahasiswi Poltekkes yang polos, mahasiswa-mahasiswa baru jurusan PAI yang ternyata sok akrab dengan mahasiswi-mahasiswi Poltekkes, kelompok pendaki profesional yang sangat berisik dengan gitar dan suara tingginya, serta mahasiswa-mahasiswi jurusan PBI UNY yang ternyata adalah kakak angkatanku sendiri, Mas Adi, Mas Nahar, Mbak Saras, dan yang lainnya. Kebetulan yang indah bukan? Mas Adi menyalakan api unggun dari kayu-kayu yang ia kumpulkan sebelumnya. Sialnya, asap dari api unggun itu selalu berhembus ke arah tenda kami, alhasil kami selalu terbatuk-batuk dan mata kami terasa sangat pedih saat mencoba keluar tenda. Duh maaaak..
Saat beberapa kakak angkatan memutuskan untuk meninggalkan tenda sejenak dan mendaki ke Puncak Gedhe (yang letaknya hanya beberapa meter dari tenda kami) demi melihat pemandangan lampu-lampu Jogja dan sekitarnya di malam hari dari ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, kami juga memutuskan untuk bergabung dengan mereka setelah shalat Isya dan tak lupa meminta tolong Mas Adi untuk menjaga tenda kami di Camping Ground I. Tidak mudah menuju Puncak Gedhe yang katanya adalah puncak tertinggi tersebut, butuh kehati-hatian ekstra dan keberanian tinggi untuk mendakinya, namun setelah sampai di pucaknya, SUBHANALLAH, langit seakan hanya beberapa inci di atas kepala kami, pemandangan kerlap-kerlip terhampar luas sejauh mata memandang, langit malam itu terlihat gelap seakan sengaja agar kami semakin jelas melihat titik-titik kecil yang berkilauan di bawah sana. Ya, lampu-lampu rumah, lampu gedung, lampu-lampu kendaraan maupun lampu yang lainnya seakan memanjakan mata kami, bertasbih pada Yang Maha Besar, Subhanallah, damai sekali bisa melihatnya sendiri. Satu yang tidak menyenangkan, udara di atas puncak sangaaaaaaat dingin, mungkin sama dengan suhu di lemari es. Tangan kami sampai terasa membeku.
Setelah puas menikmati pemandangan malam, kami segera kembali ke tenda. Kami menghabiskan malam dengan membuat kopi Good Day yang dibawa Denis dan duduk di samping api unggun yang dibuat oleh Mas Adi. Bercengkerama membahas pekerjaan lah, tentang perkuliahan lah, tentang arisan lah, dan lain sebagainya. Kami juga bercengkerama dengan Mas Adi serta beberapa pendaki lain, malam itu sangat panjang. Aku juga bisa merasakan uniknya pipis di semak-semak di kegelapan malam, hihi, padahal belum ijin sama yang nunggu. Saat tiba-tiba gerimis datang, kami berempat segera menutupi tenda dengan selembar kain berbahan seperti parasut lebar berwarna biru serta jas hujan agar tidak basah oleh air hujan. Ternyata oh ternyata, tetap saja tenda kami basah kuyup. Akhirnya kami menghabiskan malam meringkuk di dalam sleeping bag, tidak bisa tidur karena kedinginan, juga karena nyanyian pendaki lain di tenda sebelah yang luar biasa kerasnya. Sial. Aku menghabiskan malamku dengan bermain handphone, ber-sms-an dengan Septyyana dan Denis, dan terkikik menertawai wajah Tonny yang herannya bisa pulas tertidur bahkan sambil mendengkur walau asap tebal dari api unggun memenuhi tenda. Sesak, batinku malam itu.
Saat Subuh menjelang, aku bangkit dari sleeping bag-ku dan segera melaksanakan shalat di dalam tenda. Agenda selanjutnya adalah agenda utama kami, yaitu berburu sunrise atau sinar matahari terbit. Kami kembali menuju Puncak Gedhe, kembali lagi berkutat dengan tanah curam dan batu terjal serta tangga kayu yang tak jarang bergoyang gemulai. Setibanya di sana, sudah banyak pendaki lain yang telah bersiap dengan kamera dan handphone untuk mengabadikan momen indah tersebut. Tak lama, sang surya pun menampakkan muka cerah cemerlang jingganya, beruntung pagi itu mendung dan kabut sudah hilang sehingga kami bisa melihat dengan sangat teramat jelas sekali sunrise yang melegenda itu. Subhanallah.
Setelah puas mengabadikan sunrise, kami berempat segera kembali ke tenda untuk berkemas dan bersiap pulang. Setelah sejenak meminta tolong Mas Adi memotret kami di depan tenda, kami berpamitan pulang dan kembali menuruni Gunung Api Purba itu. Dalam perjalanan turun, ternyata pemandangan yang semalam mencekam berubah drastis menjadi sangat indah, banyak kupu-kupu maupun capung beterbangan di sekitar pohon-pohon, dapat juga ditemui bunga-bunga maupun buah-buah kecil yang belum pernah kujumpai, benar-benar menyenangkan. Perjalanan kami lanjutkan menuju Embung Kebun Buah yang hanya berjarak 1 km dari Gunung Api Purba. Walaupun hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit, jalurnya sangat mencekam, mungkin kemiringannya bisa mencapai 45 derajat, tapi itu sepadan dengan apa yang bisa kami dapatkan setelahnya, kolam buatan yang cukup luas berlatar belakang Gunung Api Purba dan hutan-hutannya. Benar-benar suatu pemandangan yang jarang bisa didapatkan di kota. Kami beruntung, hari itu sangat cerah.
Pengalamanku dua hari itu tidak akan pernah kulupakan, semuanya bahkan hal kecil sedetail apapun mungkin akan terukir di dalam kotak memoriku. Jika alam semesta adalah tempat bermain, maka di sinilah tempat kami berpijak menemaninya. Sekian. Terima Kasih. Jaga kesehatan semuanya! Bon Voyage!
0 Comments