Voyage Chapter 27: Pantai Drini dan Perihal Benci Menyendiri

Rasanya bukan saya saja yang sudah terjatuh dalam titik jenuh, berkutat dan bergulat dengan kesibukan di kala pandemi sepanjang tahun ini. Tahun 2020 rasanya berjalan sangat cepat tanpa ada hal menyenangkan yang terjadi. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, saya tak bisa berbagi cerita seru seputar perjalanan jauh yang saya lakukan sendirian. Jika tahun 2019 saya banyak menulis cerita tentang solo-travelling dan pemahaman baru saya saat bepergian sendirian, tahun 2020 ini sepertinya jauh berbeda.


"What a lovely surprise to finally discover how unlonely being alone can be." – Ellen Burstyn

Saya bosan sendirian! Sebagai seorang staf sebuah universitas yang sudah mengalami WFH (Work From Home) selama 4 bulan penuh terhitung 24 Maret-4 Juli 2020, yang kemudian dilanjutkan dengan sistem kerja shift (seminggu WFH, seminggu WFO) sampai sekarang, saya mulai merasa bosan bekerja sendirian. Saya memang bukan tipe yang suka dengan keramaian dan dikelilingi orang banyak, namun karena tahun lalu sudah mulai terbiasa dengan itu, bekerja sendirian rasanya seperti tiba-tiba dikucilkan dan harus berlari kencang tanpa hadirnya seorang kawan.

Ada secercah kebahagiaan yang memecah keheningan saya dalam ruang kesendirian beberapa hari lalu. Agung, salah satu teman sekelas saya saat kuliah tiba-tiba mengajak saya pergi ke tempat teman kami yang lainnya, Bambang, yang ada di pesisir pantai Gunungkidul, bersama dengan dua teman lainnya, Tsani dan Rezy. Tentu saja langsung saya iyakan ajakannya. Sudah lama saya tidak berjumpa dengan mereka, mungkin lebih dari 2-3 tahun yang lalu, saat kami menghadiri wisuda masing-masing.

Saya langsung mengiyakan ajakan Agung sebab dia memilih hari kerja, yang berarti bahwa jalanan tidak akan terlalu ramai dan pesisir pantai di sekitar tempat tinggal Bambang akan sepi pengunjung. Ya, tentu saja kami masih memperhatikan protokol kesehatan dan menerapkannya. Tsani dan Agung bahkan membawa masker cadangan dan hand sanitizer berukuran besar. Protokol tetap nomor satu, ke manapun kita pergi. Kami sadar akan hal itu.

Kami bertolak dari kos Tsani di daerah Pogung, Sinduadi sekitar pukul 09.00 WIB. Perjalanan yang kami tempuh untuk menuju Pantai Drini, Tanjungsari, Gunungkidul memakan waktu sekitar 2 jam lebih sedikit karena jalanan termasuk lengang dan tidak banyak pengemudi yang menuju kawasan sekitar pesisir. Agung menyetir di depan sembari sesekali menanggapi kami bertiga yang bercengkerama tak henti-hentinya. Ternyata ada banyak sekali hal yang terjadi pada teman-teman saya selama 2-3 tahun ini tak bersama mereka. Perihal resigny-nya Tsani dari kantornya yang membuatnya lelah fisik dan psikis; kehamilan 5 bulan Rezy yang menemaninya menjalankan kedai kopi bersama suaminya di rumah; studi S2 Agung yang hampir selesai sebentar lagi; dan banyak hal lain yang belum sempat saya dengar sebelumnya karena memang benar-benar sudah selama itu kami tak bersua. Menyenangkan rasanya.


Tak terasa, sekitar pukul 11.30 WIB kami sampai di resto milik kakak perempuan Bambang di pesisir Pantai Drini. Matahari bersinar sangat terik, dan hanya sesekali angin kecil berhembus ke kepala kami. Hari itu cerah, namun tidak secerah senyum Bambang yang menyambut kami dengan sapaan khasnya.



Pantai Drini hari itu sangat sepi pengunjung. Bambang yang sudah seminggu belakangan mengamati keadaan sekitar pun berkata sama, pandemi benar-benar mempermainkan mata pencaharian orang-orang. Hanya sekitar 10 orang pengunjung pantai siang itu, cukup miris mengingat normalnya bisa lebih dari seratus orang yang berkunjung di hari biasa. Setelah memarkir mobil, kami segera menuju bibir pantai untuk bermain dengan ombak, maklum, sudah setahun lebih saya tidak menyentuh air laut, hahaha.

Sekitar 2 jam lebih kami bermain di tepi pantai, bermain dengan pasir pantai, berenang dan menyelam, menaiki perahu dayung, dan berfoto-foto bersama. Lelah, namun membahagiakan. Setelah lelah bermain air, kami segera duduk manis di sebuah bangku besar untuk menikmati makan siang dari Rumah Makan Mutiara Seafood yang notabene adalah milik kakak perempuan Bambang. Kami memesan ikan tongkol bakar, cumi masak asam manis, nasi goreng seafood, dan sambal khas Gunungkidul yang luar bisa pedasnya namun sebanding dengan enaknya. Tentu saja kami makan sambil tetap bercengkerama, yang membuat lebih terasa nikmatnya.







Full team!



Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Kami harus segera pulang karena saya ada jadwal kelas jam enam sore. Begitu menyenangkan rasanya bersua lagi dengan teman-teman lama dan bercerita tak ada habisnya. Semoga kami bisa berjumpa lagi di lain kesempatan, dengan keadaan yang jauh lebih baik-baik saja. Nostalgia memang sejuta rasanya.


Yogyakarta, 11 Desember 2020






Post a Comment

0 Comments