Voyage Chapter 40: Berjalan Menyentuh Langit, Pendakian Gunung Merbabu via Selo

Banyak yang bercerita bahwa dinginnya puncak gunung akan menjadi hangat jika kita dikelilingi oleh banyak kawan. SALAH. Orang gila mana yang logikanya begitu? Saya sudah coba membuktikannya sendiri hingga akhirnya tahu batas dingin suhu yang bisa diterima oleh tubuh yang sudah tak lagi muda ini. Saya punya sebuah cerita.

“The climb speaks to our character, but the view, I think, to our souls.” – Lori Lansens

Pagi itu, Sabtu, 13 Juli 2024, saya bersama beberapa teman kantor: Mas Dha (dan keponakannya, Dwi), Mbak Ganggas, Mbak Amalia serta Mas Cahyo dan adiknya, Uti, terlihat sibuk mengemasi ulang barang bawaan kami di tas carrier masing-masing. Beberapa hari sebelumnya kami berencana untuk melakukan pendakian ke salah satu gunung tertinggi di Jawa Tengah yakni Gunung Merbabu dengan jumlah personil delapan orang. Sayangnya, sehari sebelum keberangkatan, Mbak Ais mengalami cedera pinggul dan memutuskan untuk mundur, walau paginya masih datang ke kantor untuk memastikan kami semua membawa perlengkapan berkemah yang dibutuhkan. Yah, rasanya kurang lengkap jika berkemah di gunung tanpa beliau. Walau begitu, the show must go on.

Kami bertolak meninggalkan kantor sekitar pukul 09.00 WIB setelah memastikan semua barang bawaan lengkap tersusun rapi di dalam tas carrier masing-masing dan memasukkannya ke bagasi mobil. Hari itu cerah, lebih cerah dari senyum kami saat membayangkan puncak gunung. Langit terlihat begitu biru dengan semburat awan seputih kapas di beberapa sudut. Walau belum sepenuhnya memasuki musim liburan, entah mengapa jalanan Jogja menuju Boyolali rasanya sangat padat oleh kendaraan. Kami bertujuh yang terbagi ke dalam dua mobil segera melaju menyusuri Jalan Magelang dengan kecepatan penuh agar bisa segera sampai di basecamp yang terletak di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali.

Perjalanan yang semula kami kira akan memakan waktu kurang dari tiga jam ternyata salah. Mungkin karena jalan raya yang begitu padat, terlebih saat akhir pekan, membuat kami menghabiskan waktu lebih dari empat jam di perjalanan. Belum lagi ditambah satu kejadian lucu, yakni ketika hampir memasuki wilayah basecamp, kami terpisah karena berbeda persepsi saat memilih tikungan. Dengan sinyal seadanya, dua grup saling menghubungi melalui WhatsApp dan telepon namun hasilnya nihil. Sinyal internet benar-benar minim sekali didapatkan di kawasan sekitar kaki gunung ini. Kami mencoba untuk tak panik dan seakan sedetik berharap telepati bisa berjalan.

Sampai di Basecamp

Setelah berjuang dan komunikasi kami akhirnya berhasil, kedua mobil bertemu tepat di jalur menuju gerbang masuk basecamp. Tulisan di gerbang dengan jelas terbaca “Kampoeng Base Camp”. Memang rumah-rumah di dusun ini hampir semuanya difungsikan menjadi basecamp bagi para pendaki. Siang itu, di sepanjang jalan masuk Dusun Genting yang terletak di Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali ini sudah ada banyak sekali mobil terparkir di kiri kanan jalan, tepat di depan rumah-rumah warga yang menanjak. Hal ini berarti bahwa hari itu ada banyak sekali pendaki yang mengunjungi Gunung Merbabu, baik yang melakukan pendakian tektok maupun bermalam di sana. Menarik.

Setelah memarkir kedua mobil di salah satu halaman rumah warga dengan papan bertuliskan Basecamp Pak Parman, kami bertujuh segera masuk untuk menghangatkan badan. Maklum, udara di luar begitu dingin, hingga membuat napas kami seakan berembus dengan asap. Mas Dha yang mulai sibuk dengan formulir pendaftaran dan pendataan barang-barang (terutama yang akan menjadi sampah saat turun nanti) mulai memberi komando agar kami segera mengemas ulang barang bawaan kami karena waktu sudah menunjukkan lebih dari pukul dua siang. Pendakian di Gunung Merbabu hanya boleh dilakukan sebelum pukul setengah empat sore. Selebihnya, loket akan ditutup bagi siapapun. Alasannya mungkin untuk menghindari potensi terjadinya kecelakaan atau tersesatnya pendaki saat malam tiba. Dan setelah memastikan semua keperluan mendaki dan berkemah sudah lengkap, serta perut lapar ini sudah terisi oleh mi rebus hangat rasa soto buatan istri pemilik basecamp, kami segera beranjak menuju loket Taman Nasional Gunung Merbabu yang berada tak jauh dari basecamp untuk segera memulai pendakian sore itu. Pendakian pertama saya di gunung ini.


repacking

bersiap naik!

Waktu di jam tangan digital saya tepat menunjukkan pukul 15.30 WIB sesaat setelah kami menyelesaikan administrasi di loket. Tampaknya saya dan teman-teman adalah rombongan terakhir pendaki yang akan naik hari itu.

Langkah Kaki Pertama

Nafas tersengal dan laju kaki melambat mulai terasa sekitar setengah jam kemudian. Kami bahkan belum mencapai Pos 1 Dok Malang. Beban di punggung kami rasanya begitu berat. Walau keringat tak bercucuran karena udara mulai menjadi dingin, keinginan meneguk air putih acapkali menghampiri. Di pendakian kali ini, kami tak banyak bercengkerama. Kami memutuskan untuk menghemat tenaga karena jalur di gunung ini mulai terasa begitu menantang.

Saya bersama Mbak Ganggas dan Mbak Amalia memutuskan untuk mempercepat langkah agar segera sampai di Pos 1 Dok Malang walau harus meninggalkan empat orang lainnya di belakang. Mas Cahyo yang nafasnya cukup memburu dan adiknya, Uti yang baru kali ini naik gunung sepertinya harus berjalan dengan tempo yang lebih lambat, untungnya Mas Dha dan Dwi bersedia mendampingi dan mempersilakan kami bertiga yang ingin berjalan dengan tempo lebih cepat untuk menuju Pos 1 Dok Malang terlebih dahulu. Tanpa banyak bicara, kami bertiga segera melesat beriringan mengikuti jalan setapak, menembus rimbunnya semak di kanan kiri yang mulai berganti menjadi pepohonan pinus dan cemara gunung seiring dengan turunnya suhu udara di sekitar kami. 

Pakaian saya sepertinya sudah sangat berlapis. Saya mengenakan celana training panjang di dalam celana kargo hijau sage, kemudian kaus hitam dengan ilustrasi beruang dan kemeja flanel lengan panjang motif kotak-kotak berwarna merah hitam untuk menghalau dingin. Walau sudah mengenakan kaus kaki tebal serta kaus tangan ganda, entah mengapa dinginnya Merbabu sore itu masih saja bergeming. Langkah kaki yang semakin cepat ternyata sedikit membantu kami menghangatkan badan. Hingga tak terasa, kami bertiga sudah sampai di Pos 1 Dok Malang pada pukul 17.10 WIB. Tidak ada orang lain di pos ini selain kami bertiga. Sambil menghirup napas panjang, kami duduk meluruskan kaki. Berdebar. Pos 1 Dok Malang rasanya sejauh ini. Penyesalan kembali muncul tatkala saya sadar masih ada pos-pos lain yang lebih menantang untuk digapai sore itu. Ah, bukan. Malam itu.

Merapi mengintip dari kejauhan

trio jalan duluan

Cukup lama kami bertiga beristirahat di Pos 1 Dok Malang. Walau demikian, masih belum juga terlihat tanda-tanda Mas Cahyo dan lainnya. Sejurus kemudian, kami bertiga memutuskan untuk kembali berjalan menuju pos selanjutnya agar hari tak semakin malam, mumpung tenaga kami masih cukup terasa.

Bertolak ke Pos 2 Pandean

Perjalanan menuju Pos 2 Pandean rasanya jauh lebih menantang. Matahari senja yang menemani kami selama perjalanan dari pos sebelumnya mulai terlihat turun ke peraduannya, meninggalkan semburat lembayung yang perlahan mulai menjadi aram-temaram. Gelap. Jarak pandang mengerucut. Kami harus berhenti sejenak untuk meraih headlamp di dalam tas selempang kami, memasangnya tepat di dahi, dan kembali menembus jalan setapak yang sama sekali tanpa henti. Hawa dingin pun makin menggelayut. Jaket windbreaker berwarna biru langit yang terlipat rapi di dalam tas carrier akhirnya saya kenakan untuk menembus dinginnya hutan malam itu.

Jalur menuju Pos 2 Pandean bisa dibilang lebih tak bersahabat daripada jalur sebelumnya. Yah, mungkin karena jarak pandang yang makin mengecil dan udara yang semakin dingin, rasanya tempo langkah kaki kami mulai melambat. Bebatuan besar dan akar pohon yang tumbuh serampangan masih mendominasi jalur pendakian yang semakin curam. Angin di sela-sela pepohonan berembus kencang sesekali. Masih belum kami temui pendaki lainnya di jalur tersebut malam itu hingga akhirnya kami sampai di Simpang Macan, pertanda tinggal setengah jalan lagi menuju Pos 2 Pandean. 

Ada dua pendaki pria yang mungkin usianya tak jauh di atas kami sedang duduk di hamparan tanah landai setelah Simpang Macan dengan dua lampu tenda menyala di kanan kirinya. Terkilir. Salah satu pendaki tersebut terpeleset saat menaiki tanjakan tak jauh di belakang. Merasa tak kuat untuk meneruskan pendakian ke puncak, ia bersama kawannya memutuskan untuk beristirahat di sana dan menunggu tenaga kembali terisi agar bisa turun dan bermalam di basecamp. Mereka menanti tiga kawan mereka yang sudah mendahului untuk menyadari absennya mereka dari rombongan dan menyusul turun. Sesaat saya termenung. Bagaimana kalau hal ini juga terjadi pada salah satu di antara kami? Ngeri rasanya. Dan tanpa sadar, langkah kaki kami bertiga yang semula cepat mulai berjalan lebih lambat dan sangat berhati-hati, menembus hutan di gunung yang sunyi malam itu.

Dinginnya udara tak juga menjadi hangat ketika akhirnya kami bertiga sampai di Pos 2 Pandean pada pukul 18.51 WIB, tepat setelah jalur semak dan pepohonan mulai berubah menjadi tanah berpasir di pinggir tebing yang curam, kering, dan berdebu. Jika tak hati-hati dengan langkah kaki, bisa saja kami terpeleset. Di sini kami memutuskan untuk menunggu Mas Cahyo dan lainnya sembari meluruskan kembali kaki yang mulai terasa pegal sambil menikmati camilan yang kami bawa seperti kue bronis maupun jajanan ringan lainnya agar beban di tas kami berkurang. 

tak terbayang akan sedingin ini

Pos 2 Pandean lebih landai dan lebih luas dibandingkan Pos 1 Dok Malang. Ada semacam panggung kecil yang terbuat dari papan kayu tersusun rapi yang bisa digunakan para pendaki untuk duduk santai atau sekadar merebahkan badan. Sekitar setengah jam kami menunggu hingga akhirnya rombongan Mas Cahyo datang. Setelah istirahat dirasa cukup, kami bertujuh melanjutkan perjalanan menuju Pos 3 Batu Tulis.

Sampai di Pos 3 Batu Tulis

Tak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di Pos 3 Batu Tulis setelah terseok-seok menyusuri tebing terjal nyaris tanpa semak belukar dengan disaksikan langit malam penuh bintang. Mungkin hanya sekitar setengah jam waktu tempuh yang kami butuhkan dari pos sebelumnya. Selain karena sudah mulai memahami medan, ada tali tambang besar dan cukup panjang yang memang dipasang di jalur tersebut agar memudahkan pendaki mencapai pos di ketinggian 2593mdpl ini.

Sejauh mata memandang, terlihat puluhan tenda sudah berdiri kokoh melawan hembusan angin malam yang entah mengapa semakin menusuk tulang. Lampu-lampu tenda yang menyala terang sedikit membesarkan hati kami. Lega karena akhirnya rombongan kami tak sendirian lagi. Tak jauh dari perkemahan, tepatnya sekitar seratus meter di perbukitan yang lebih tinggi terlihat bangunan berbentuk segitiga yang merupakan emergency shelter di pos ini. Shelter ini dibangun dengan harapan dapat mengurangi risiko terjadinya kecelakaan para pendaki serta memberikan manfaat lain yang tidak kalah penting, misalnya dengan adanya pemberitahuan atau imbauan yang dibunyikan dengan pengeras suara yang cukup lantang (dan semalaman mengganggu tidur kami). Pos ini memang terlihat seperti berada puncak gunung, walau puncak Merbabu yang sebenarnya masih berada nan jauh di sana, yang mungkin bisa memakan waktu empat jam lamanya. Siapa mengira.

Tak butuh waktu lama, kami segera mendirikan tiga buah tenda yang sudah kami bawa: tenda berwarna biru untuk para gadis, tenda abu-abu untuk saya dan Mas Cahyo, dan tenda merah untuk Mas Dha dan Dwi. Hawa dingin malam itu sungguh semakin menjadi-jadi. Tangan dan kaki rasanya gemetar, gigi rasanya bergemeletuk pertanda suhu dingin sudah mulai menyelimuti tubuh saya. Menggigil. Setelah tiga tenda berdiri sempurna, saya segera meringkuk di dalam salah satunya, masih mengenakan sepatu trekking tebal. Merbabu, why u so cold!??

Di luar tenda, Mbak Ganggas dan Mas Dha dengan cekatan mulai menyiapkan dapur darurat. Mereka memang selalu bisa diandalkan. Mas Dha menyalakan dua kompor portable dan segera mendidihkan air untuk membuat kopi dan susu panas untuk menghangatkan badan. Saya membantu Mbak Ganggas memotong-motong sayur untuk membuat sup dan mengocok telur serta irisan daun bawang dan cabai rawit untuk membuat telur dadar. Menu makan malam itu adalah nasi porang dengan sup sayur dan telur dadar. Walau sedikit repot, soal makan di gunung tak boleh hanya sekadar mi instan saja. Itu sudah menjadi prinsip kami sejak pendakian pertama di Gunung Kembang dahulu. Memang, tubuh membutuhkan gizi seimbang agar kuat bertahan di gunung yang terkadang bisa jadi tak bersahabat ini. Tepat seperti malam ini.

memasak nasi porang


makan malam di ketinggian 2593mdpl

Setelah perut terisi dan badan perlahan menghangat, kami segera masuk ke tenda masing-masing untuk bersiap tidur. Di tenda abu-abu, Mas Cahyo sudah terlihat meringkuk di dalam sleeping bagnya. Sepertinya hawa dingin ini sama sekali tak menghilangkan kantuknya. Tak lama, saya menyusul masuk dan segera mengenakan sleeping bag hijau yang sudah sejak tahun 2014 menemani saya berkemah di gunung. Entah mengapa, walau sudah di dalam tenda dan terbungkus sleeping bag tebal, hawa dingin menusuk tulang yang sedari tadi membersamai kami tak juga pergi. Rasanya justru semakin dingin. Baru kali ini saya merasa gunung bisa sedingin ini. Mungkin nyaris nol derajat Celsius.

Saya tak tahu bagaimana keadaan di dua tenda lainnya, namun malam itu saya dan Mas Cahyo seakan benar-benar tak bisa tertidur pulas karena hawa dingin akhirnya menguasai bagian dalam tenda. Sesaat terpejam, sesaat kemudian terjaga, terpejam lagi, dan terjaga lagi. Lelah sekali rasanya. Entah berapa kali sudah saya mendengar Mas Cahyo mengucapkan sumpah tak akan mengunjungi gunung ini lagi dengan suara paraunya yang tercekik angin gunung. Dalam hati saya juga berpikir sama. Dinginnya benar-benar tak masuk akal. Tubuh yang terselimuti berlapis-lapis kain rasanya seakan tak berpakaian saking menggigilnya. Ponsel yang sedari tadi saya letakkan di dekat pintu masuk tenda terasa sedingin es batu. Seakan membeku.

Dalam Dekap Sang Mentari

Kegusaran kami akhirnya perlahan sirna setelah beberapa waktu kemudian matahari mulai menampakkan sinar jingganya pertanda pagi sudah menghampiri. Waktu di jam tangan saya menunjukkan pukul lima pagi lebih sedikit. Saya segera keluar dari tenda dan membangunkan teman-teman yang lain di tenda masing-masing. Saat makan malam sebelumnya, kami berencana untuk meneruskan pendakian ke puncak pada pukul lima pagi. Yah, rencana hanyalah sekadar rencana. Teman-teman sepertinya tak kuat dengan dinginnya Merbabu dini hari itu. Rencana akhirnya diundur sampai udara benar-benar menjadi lebih hangat.

Karena sudah terbangun, saya segera mendidihkan air untuk membuat susu cokelat panas agar kerongkongan yang kering ini terhangatkan. Sembari duduk menikmati semburat cahaya matahari pagi di ufuk timur, saya menyeruput susu hangat di cangkir. Masya Allah. Seakan sumpah tadi malam bisa saya langgar begitu saja. Inilah sebenarnya alasan saya suka mengunjungi gunung. Pemandangan surgawi seakan menepis kelelahan saat pendakian semalam. Walau diselimuti kabut dan awan tipis, hamparan bukit hijau dan rumah-rumah di pedesaan yang terlihat sangat kecil di kejauhan seakan menyihir mata.


Setelah memastikan semua terbangun dan tenda sudah tertutup rapat, kami melanjutkan pendakian dengan membawa tas selempang berisikan botol minum dan barang berharga lainnya. Jalurnya sebenarnya terlihat cukup jelas dari arah tenda kami. Jalur naik tersebut sebenarnya cukup curam dan berbatu besar namun sepertinya sangat aman dilalui jika memperhatikan langkah kaki dan berpegangan kencang pada tali. Pagi itu rasanya saya sangat menikmati pendakian menuju Pos 4 Sabana I. Bagaimana tidak, udara pagi begitu segar dan suhu sudah mulai menghangat. Kami juga bisa dengan jelas melihat Gunung Merapi yang berdiri kokoh dengan latar belakang langit biru yang sangat bersih. Rasanya tak ingin pulang. Bolehkah kami tinggal di sini lebih lama? 

Perjalanan menuju Pos 4 Sabana I memakan waktu kurang lebih satu jam. Jalur yang dilalui lumayan lebih mudah walau tebing-tebing berbatu dan curam masih saja mendominasi. Trekking pole yang sedari awal saya gunakan sepertinya memang sangat membantu di jalur kali ini. Saya dan Mbak Ganggas mendahului rombongan dan sampai lebih awal, yang disusul Mbak Amalia beberapa menit kemudian.


I love how vibrant these tents are


terkapaaar~

Di Pos 4 Sabana I ada banyak sekali tenda yang berdiri. Jauh lebih banyak dari tenda-tenda yang ada di Pos 3 Batu Tulis tempat kami menghabiskan malam. Pos yang berada di ketinggian 2770mdpl ini jauh lebih landai dan sangat luas, maklum pos ini adalah sabana alias hamparan padang rumput. Pemandangan di sekitar kami pagi itu sungguh memanjakan mata. Hamparan luas rumput menghijau dengan latar belakang puncak gunung berhiaskan pepohonan tinggi nan subur. Sambil merebahkan badan di rerumputan beratapkan langit biru yang cerah dan nyaris tanpa awan, kami menghela napas sebentar.

Sepakat Mengurungkan Niat

Waktu menunjukkan tepat pukul 08.00 WIB ketika kami bertujuh akhirnya lengkap. Sebenarnya puncak dari gunung ini masih cukup jauh dan harus melewati melewati Pos 5 Sabana II, namun setelah menimbang waktu tempuh pulang, Mbak Ganggas dan Mbak Amalia menyarankan agar kami mengurungkan niat mencapai Puncak Triangulasi yang akan memakan waktu sekitar dua jam lamanya. Kami akhirnya setuju dan segera berjalan turun menuju tenda kami di Pos 3 Batu Tulis.

Sesampainya di tenda, saya membantu Mbak Ganggas dan Mbak Amalia menyiapkan sarapan. Menu makan pagi itu cukup sederhana, yakni roti bakar dengan telur orak-arik, keju, dan sayap ayam goreng pedas, ditemani secangkir kopi panas untuk menghilangkan kantuk sisa semalam. Kami menikmati sarapan sambil bercengkerama dan bersenda gurau, berbeda dengan malam sebelumnya saat kami menikmati makan tanpa suara.

inilah tenda-tenda kami



bersiap pulang!

Setelah sarapan selesai, kami mengemasi barang bawaan kami dan mengumpulkan sampah-sampah yang kami bawa, tak boleh ada yang tertinggal satupun. Waktu menunjukkan pukul 11.45 WIB. Matahari bersinar semakin terik saat kami mulai menuruni gunung. Dengan berhati-hati karena turunan sebenarnya lebih berisiko untuk dilalui, terlebih jika tanahnya kering dan berpasir. Benar saja, Mbak Ganggas akhirnya terpeleset saat menuruni tebing menuju Pos 2 Pandean. Lututnya sepertinya keseleo. Beruntung, ia masih kuat menuruni gunung dengan langkah perlahan yang jauh lebih berhati-hati.

Sekitar pukul dua siang akhirnya kami bertujuh sampai kembali di loket dan segera melakukan pendataan sampah dengan petugas loket. Lega setelah akhirnya semua sampah kami bawa turun, kami berjalan gontai menuju basecamp untuk mandi dan bersih-bersih, juga untuk menikmati makan siang yang bisa dipesan di sana. Lelah, pegal, mengantuk, namun rasanya bahagia sekali. Bahagia karena bisa melawan dinginnya Gunung Merbabu saat malam hari, juga bahagia karena bisa kembali dengan selamat membawa segenggam cerita untuk dikenang di lain hari. Terima kasih teman-teman pendaki. Terima kasih, Merbabu! See you in a bit!


Yogyakarta, 22 Juli 2024




Post a Comment

0 Comments