Voyage Chapter Six: Bermalam dengan Kabut, Gunung Andong


“Jalan masih terbentang jauh, tuk menggapai segala harapan. Oh negeriku.. Negeri cintaku.. Selalu ada dalam hatiku. Cinta negeriku...” Ya, sepenggal lirik lagu berjudul Negeriku lantunan Chrisye di Music Player di telepon genggamku ini menjadi saksi pendakian keduaku. Tepatnya tanggal 24 sampai 25 Mei 2014 lalu, aku dan kelima orang teman SMF-ku: Denis, Tonny, Westhi, Etha, dan Septi untuk pertama kalinya bersama mendaki Gunung Andong. Gunung Andong? Ya, gunung setinggi 1.726mdpl yang terletak di Kec. Ngablak Kab. Magelang Jawa Tengah ini mampu menarik perhatian kami untuk kembali melakukan pendakian. Berikut cerita selengkapnya.

“Some beautiful paths can’t be discovered without getting lost.” - Erol Ozan

Setelah beberapa minggu lalu kami ber-chatting ria di Whatsapp untuk membahas kemah yang kedua kalinya, menimbang-nimbang tujuan antara ke bukit Sikunir atau ke pantai, akhirnya pilihan malah jatuh ke Gunung Andong. Sebenarnya ini usul Tonny yang pernah naik ke sana sih, akhirnya kami iya-kan saja keputusan itu seminggu sebelum hari keberangkatan. Pada hari Sabtu sore, 24 Mei 2014 setelah menyelesaikan packing, segera kujemput Denis di kostnya dan berangkat menuju depan GOR UNY, tempat yang kami janjikan untuk berkumpul. Sampai di GOR, Denis turun dan menunggu di sana bersama Etha, aku melaju ke kost Westhi untuk menunggunya selesai berkemas dan membawanya ke GOR. Setelah itu, aku dan Westhi menuju ke Anak Rimba Adv., tempat kami menyewa tenda dan perlengkapan kemah lainnya seperti sleeping bag ataupun matras. Setelah semua datang dan pembagian perlengkapan siap, kami segera berangkat menuju lokasi pendakian yang terletak di Kabupaten Magelang tersebut.

Kami berangkat melewati Ring Road Utara menuju Jalan Magelang dengan kecepatan penuh, takut keburu malam, haha. Setelah sempat mampir di sebuah masjid di Kota Magelang untuk shalat Maghrib dan istirahat, kami melanjutkan perjalanan kami. Malam itu cukup dingin, mungkin karena kami sudah memasuki dataran tinggi. Jalan menuju Gunung Andong lumayan istimewa, berkelok, gelap, dingin, naik turun dan sepi. Kurang lebih 4 sampai 5 jam waktu yang kami butuhkan dalam perjalanan kami dari Jogja menuju Gunung Andong di Ngablak Magelang hari itu, sudah termasuk beberapa kali hilang arah dan tersesat, haha. Sesampainya di Basecamp pendakian Gunung Andong, tepatnya dusun Sawit, kami segera menitipkan sepeda motor kami dan menuju masjid terdekat untuk shalat Isya’. Air di sana sangat dingin dan kerapkali membuat tangan dan kakiku beku, haha. Setelah shalat, kami kemasi ulang barang bawaan kami sesuai perintah senior Westhi agar mendakinya lebih mudah dan praktis.

Pukul 21.15 WIB, kami memulai pendakian, menyusuri perkebunan dan pertanian di kaki gunung sambil sesekali mengobrol dan bercanda dalam gelap. Kurang lebih 50 meter dari kaki gunung, sekitar 30 menit setelah kami memulai pendakian, Etha mengeluhkan capeknya, maklum ia baru pertama kali ini mendaki gunung. Nafasnya tersengal, badannya berkeringat dingin dan jantungnya berdetak cepat. Kami agak khawatir tapi tetap tenang, ini lumrah kok, dulu Denis malah hampir pingsan, haha. Setelah menenangkannya dan menyuruhnya membiasakan menarik nafas panjang, kami segera melanjutkan pendakian kembali. Beberapa kali kami istirahat di area landai, beberapa kali kami tersengal di tengah hutan di gunung itu, beberapa kali kami terpesona memandang kelap-kelip lampu di bawah sana, beberapa kali kami meneguk air mineral dari botol kami, dan beberapa kali kami mengusap peluh di badan kami. Akhirnya pukul 23.33 WIB, kami mencapai puncak Gunung Andong. Puncak yang telah sangat lama kami nantikan, puncak yang membutuhkan tenaga ekstra untuk didaki, puncak tertinggi yang bisa kami raih hari itu. Suasana di puncak Andong tidak begitu jelas terlihat, selain karena gelap, kabut juga mulai menyelimuti sekitar puncak. Ada kurang lebih 8 sampai 9 tenda yang sudah kokoh berdiri di sana. Segera saja kami cari tempat strategis, tempat yang landai untuk mendirikan tenda. Tak mudah mendirikan tenda malam itu, angin kencang dan kabut tebal membuat tenda berkelebat dan jarak pandang juga semakin menyempit. Akhirnya pukul 00.40 WIB, tenda berhasil kami dirikan, walau tak sempurna, haha. Tas dan segala perlengkapan segera kami rapikan di dalam tenda. Setelahnya, Westhi dan Tonny keluar tenda untuk merebus air dan membuat mi instan, lalu kami semua makan malam di dalam tenda sambil membicarakan banyak hal. Romantisnya.

Beberapa saat kemudian, kami segera membersihkan ‘dapur’ kami dan bersiap tidur. Sleeping bag telah kami pakai, doa telah kami panjatkan, dan alarm telah kami atur agar bisa bangun pagi demi mengejar sunrise. Meski begitu, angin kencang yang menemani kami membangun tenda tak juga pergi. Di dalam tenda, keberadaan angin kencang tersebut sangat terasa, atap tenda berkali-kali bergoyang diterpanya, sempat takut juga bila tenda kami diterbangkan olehnya, tak apalah, kami cuek saja, terlalu mengantuk.

Tidurku sangat pulas, 4 jam tanpa terbangun, haha. Mungkin karena terlalu lelah ditambah efek dari obat flu yang kuminum sebelum tidur juga. Saat terbangun, di luar sudah lumayan ramai oleh suara obrolan dan nyanyian pendaki yang lain, yang tendanya berdiri di sekitar kami. Aku yang pertama kali terbangun segera keluar dan mengintip keadaan sekitar, masih gelap dan berkabut tebal. Aku kembali ke pangkuan sleeping bag-ku dan kembali tidur, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 04.35 WIB. Etha lalu membangunkanku dan menyuruhku shalat Subuh, dan segera kulaksanakan setelah buang air kecil di semak-semak di jalan menurun sebelum puncak, haha. Denis juga terbangun dan segera shalat, disusul Westhi, Septi dan Tonny. Akhirnya semua sudah kembali ke alam sadarnya masing-masing dan memberanikan diri keluar tenda demi mencari sang matahari terbit.

Mungkin kami agak kurang beruntung, sang matahari terbit tak terlihat karena kabut yang sangat sangat tebal menutupinya. Tak apa, kami tetap gembira dan tetap mengambil foto sebanyak yang kami bisa. Berlatar belakang pemandangan Kabupaten Magelang yang luar biasa hijau dan sejuk, berlatar belakang gunung Merbabu dan Merapi, banyak foto yang kami dapat. Kembali berkutat dengan mi instan dan kopi untuk sarapan, kembali membereskan tenda setelah bermain sepagian ke kedua puncak Andong, berlarian di puncak Geger Sapi, kembali ke rutinitas packing. Setelah semua selesai, tenda selesai dibongkar dan tas serta perlengkapan telah kami kemasi, kami menuruni gunung tersebut. Pemandangan saat kami turun lebih luar biasa daripada saat kami naik. Hutan hijau, rumput liar, bunga-bunga aneka warna, serangga-serangga yang bernyanyi menemani kami menuruni gunung Andong. Beberapa saat kami istirahat, beberapa saat kami berfoto, beberapa saat kami menikmati segarnya angin. Luar biasa.





















   
Perjalanan menuruni gunung lebih sebentar dan lebih terasa menyenangkan. Kami sampai di Basecamp sekitar pukul 10.00 WIB dan segera mengambil sepeda motor kami dan bersiap pulang. Kami sempatkan mampir ke rumah Denis untuk istirahat sholat dan makan, hehe. Kami juga bertemu dengan keluarga si gendut Denis yang sangat welcome dan ramah. Cuaca siang itu sangat terik, sangat sangat panas. Namun keberhasilan kami mendaki dan menaklukkan Gunung Andong menjadi angin segar tersendiri yang akan selalu kami ingat. Semoga kami selalu sehat agar senantiasa mampu menikmati indahnya alam negeri ini. Sekian. Terima Kasih. Bon Voyage!



Yogyakarta, 27 Mei 2014


Post a Comment

4 Comments