Voyage Chapter 23: Berkelana Tanpa Cengkerama di Surabaya

Akhir-akhir ini saya sempat terpikirkan sebuah kalimat dari David Henry Thoreau yang berbunyi “Not until we are lost do we begin to understand ourselves.” Kalimat singkat tentang perjalanan Thoreau ini menurut saya sangat filosofis dan mengena: “Saat nyasar, barulah kita mulai bisa memahami diri sendiri.” Bisa nyasar secara harfiah ataupun secara filosofis. Ketika nyasar atau tersesat, sendirian, kita dituntut untuk mencari jalan keluar; dituntut harus bisa segera berpikir, bagaimana cara kita mengatasi rasa panik yang tiba-tiba mengetuk, dan seperti apa kita bertindak. Seru. Sepertinya?

"Hidup adalah perjalanan, dengan masalah untuk diselesaikan, pelajaran untuk dimengerti, dan pengalaman untuk dinikmati." - Wilz Kanadi


Singkatnya, saat sudah terperosok jauh ke dalam lembah kealpaan sendirian, mau tak mau seorang manusia akan berpikir: “Apakah saya akan terus seperti ini?” Saat itulah mulai terjadi dialog menegangkan yang mungkin terlihat sangat serius dalam pikiran dan diri sendiri. Semua kemungkinan diracik dalam pikiran, semua permasalahan dicoba untuk diselesaikan, semua jalan pemecahan direncanakan. Sebenarnya, sendiri tak serta merta tidak menyenangkan. Dengan sendirian, kita justru bisa lebih banyak memahami bagaimana kehidupan ini berjalan dari satu sudut pandang saja. Sudut pandang diri sendiri. Saya punya cerita.

Prolog
Belum lama ini, kurang lebih seminggu lalu, saya juga mengalami perjalanan sendirian. Bukan perjalanan tanpa rencana, mana mau saya dengan sengaja membuat diri sendiri tersesat tanpa arah. Cari mati. Sudah lama memang keinginan untuk melakukan perjalanan sendirian itu ada di benak. Hanya saja, belum ada kesempatan untuk eksekusi. Haha, terlalu sibuk. Alasan klasik saya pada diri sendiri.

Saya bertolak menuju Stasiun Surabaya Gubeng dari Stasiun Yogyakarta di hari Senin, 23 Desember 2019 sekitar pukul 11 malam. Perjalanan ditempuh kereta Sancaka Fakultatif selama kurang lebih 5 jam. Seperti perjalanan pada umumnya, tak banyak yang saya lakukan di kereta, mendengarkan lagu, menikmati jajanan yang saya bawa, mengamati orang-orang yang riuh bercengkerama di dalam kereta, dan tidur.



Surabaya. Kota yang terkenal akan nilai-nilai kepahlawanan ini menjadi tujuan wisata akhir tahun saya. Bukan tanpa sebab, saya memang belum pernah mengunjungi kota ini seumur hidup saya. Dan mumpung ada kesempatan libur dua hari, saya coba mendatangi ibukota Provinsi Jawa Timur yang memiliki sejarah panjang ini. Istilah Surabaya ternyata berasal dari kata sura (berani) dan baya (bahaya), yang kemudian secara harfiah diartikan sebagai berani menghadapi bahaya yang datang. Sejauh yang saya amati, nilai-nilai kepahlawanan dan perjuangan itu pun masih bisa dengan hangat saya rasakan ketika berinteraksi dengan orang-orang di sana.

Sebelumnya, saya memutuskan untuk menginap di sebuah hostel tak jauh dari Stasiun Surabaya Gubeng, namanya Livinn Hostel. Hostel dengan konsep capsule hotel ini menjadi pilihan saya karena selain murah, lokasinya juga strategis dan mudah dijangkau banyak kendaraan. Pun karena saya belum pernah menginap di hotel kapsul, hehe. Dan berhubung saya juga belum pernah ke Surabaya, saya hanya memilih tujuan wisata yang tidak begitu jauh dari Stasiun Gubeng, kembali ke cerita awal tadi, takut tersesat dan tak bisa kembali.

Hari Pertama
Hari pertama di Surabaya saya nikmati dengan sarapan di kantin stasiun. Pagi itu cerah dan hangat. Hangat sekali. Sama seperti sepiring nasi dengan lauk iwak pe (ikan pari asap yang digoreng) dengan sambal dan lalapannya, di atas meja saya. Suasana di stasiun masih belum begitu ramai. Masih pagi. Waktu menunjukkan pukul 09.35 WIB saat saya selesai menyantap sarapan saya. Dan sesaat setelah memesan segelas kopi susu panas untuk menutup sarapan, seorang pria yang mungkin seusia ayah saya datang menghampiri dan duduk satu meja dengan saya.



Ijen, Mas? Gak dolan mbek konco sampean? (Sendirian, Mas? Nggak main sama temennya?)” ujar bapak tersebut dengan logat khas Surabaya, sesaat setelah melihat ransel dan tas kamera saya.
Oh, mboten, Pak. Piyambakan mawon niki kula. (Oh, nggak, Pak. Saya sendirian saja ini.)” jawab saya sedikit gugup, dengan Bahasa Jawa agak halus semampu saya, menghormati beliau.
Loh, arek Jogja opo Solo iki? Tak kira sampean wong kene, Mas. (Loh, orang Jogja apa Solo ini? Saya kira orang sini, Mas.)” sahut beliau, mungkin menyadari logat saya yang tidak seperti orang Surabaya.
Hehe, kula saking Jogja, Pak. Nembe liburan niki teng Suroboyo. (Hehe, saya dari Jogja, Pak. Ini lagi liburan di Surabaya.)”

Pak Sugito, beliau memperkenalkan dirinya setelah mengajak saya bersalaman. Bawaannya berwibawa, mengenakan kacamata tebal, dan rambutnya sudah memutih. Pak Gito adalah orang asli Surabaya yang pagi itu baru saja mengantarkan anak perempuannya ke Stasiun Gubeng untuk menuju ke Purwokerto, tempat tinggal dari mertua anaknya. Beliau bercerita banyak hal pada saya, tentang bagaimana beliau dulu sering main ke Jogja, tentang Kota Surabaya yang sudah banyak berbenah, tentang jalur bus pariwisata yang bisa ditempuh untuk mengunjungi Kota Malang atau Batu, tentang sepinya Surabaya saat musim liburan, dan masih banyak lagi. Sembari menyeruput kopi susu hangat, saya memasang telinga dengan saksama pada cerita-cerita beliau. Pun beliau, menghabiskan segelas wedang jahe panasnya sembari bercerita dan menanyai saya berbagai macam hal tentang Jogja, yang saya jawab semampu saya tentunya. Hangat, suasana pagi itu.

Jl. Dharmawangsa pagi itu



Jam sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB yang berarti saya harus segera menuju hostel untuk check-in. Perjalanan dari stasiun ke Livinn Hostel sangat singkat, mungkin hanya sekitar 10 menit mengendarai ojol. Sampai di hostel, saya segera check-in dan menuju kamar saya. Kamar Brisbane dengan bilik nomor 22 adalah tempat di mana saya akan menghabiskan malam saya pada liburan kali itu. Kamar ini berisi kurang lebih 20 bilik dengan kasur, selimut, saklar, dan meja lipat di masing-masing bilik. Cukup luas dari yang sebelumnya saya bayangkan sebenarnya. Saya segera mandi dan berganti pakaian, bersiap melakukan solo travelling pertama saya. Mendebarkan.



My bed!





It was Christmas Day!

Tujuan wisata pertama saya hari itu adalah Kenjeran Park yang berada di sekitar area Pantai Kenjeran. Pantai Kenjeran sebenarnya dulu pernah terpatri sebagai lingkungan dengan persepsi negatif bagi warga Surabaya. Namun, semua kesan itu kini sudah mulai pudar. Hadirnya Pantai Kenjeran Park Baru (Kenjeran Park Surabaya) membuat lokasi wisata ini banyak dikunjungi pelancong. Menariknya, banyak tempat bagus yang bisa dijadikan latar untuk berfoto.

Gerbang masuk Kenjeran Park


Salah satu  objek yang tersohor adalah patung Buddha dengan empat wajah. Patung ini telah masuk Rekor Muri Indonesia sebagai patung Buddha terbesar di Indonesia. Tingginya mencapai 9 meter dengan atap kubah langit atau dikenal sebagai Dome of Sky setinggi 36 meter. Bagian luarnya dilapisi warna emas sehingga tampak sangat megah. Banyak pengunjung mendatangi area ini untuk beribadah maupun berfoto. Di sana juga terdapat beberapa pendopo kecil yang dapat digunakan pengunjung untuk beristirahat. (Sumber: https://travelingyuk.com/)







Yang tak kalah megah, di Kenjeran Park juga bisa ditemui sebuah pagoda besar dengan atap bertumpuk yang bernama Pagoda Tian Ti, yang bermakna langit bumi. Bangunan yang menjulang tinggi ini memiliki corak khas, ornamen, dan warna yang membuat pengunjung seolah sedang berada di negeri tirai bambu. Di sekeliling pagoda terdapat halaman luas yang dibatasi pepohonan rindang. Sejuk sekali. Saat daun-daun kering berjatuhan, suasana semakin tampak syahdu. Di bagian dalam bangunan tidak terdapat benda apapun, hanya ruangan kosong karena pagoda ini ternyata bukan merupakan tempat ibadah. Yang jelas, mau foto di sudut manapun pasti hasilnya bagus. Yakin nggak mau coba ke sini?







Sedangkan di pesisir Pantai Kenjeran, ada sebuah patung Dewi Kwan Im yang berdiri kokoh. Di bawah kanan kirinya terdapat patung dua naga dengan bola api di tengahnya. Saya terbelalak melihat patung naga sebesar itu. Banyak juga pengunjung yang mengantre untuk berfoto di antara dua patung naga raksasa itu. Tak terkecuali saya, hehe.








Fasilitas di Kenjeran Park juga cukup nyaman. Ada beberapa kamar mandi dan musola untuk pengunjung. Ada juga tempat makan dengan aneka menu yang terlihat menggoda. Di sudut lain, banyak penjual aksesoris dan oleh-oleh. Dan untuk bisa menjelajah tempat yang teramat sangat luas ini (saya jalan kaki dari loket sampai kawasan wisata saja menghabiskan waktu sekitar 20 menit saking luasnya), pengunjung cukup mengeluarkan uang sejumlah Rp5.000 per orang atau Rp15.000 per sepeda motor untuk tiket masuknya. Murah tapi nggak murahan.

Sepulang dari Kenjeran Park perut rasanya keroncongan. Saya lapar. Menghabiskan sekitar 3 jam untuk berjalan-jalan dan mengambil foto memang melelahkan, apalagi sendirian. Secara sosial, bepergian sendirian membuat perjalanan sepi, tanpa ada teman seperjalanan yang bisa diajak bersenda gurau atau sekadar bercengkerama untuk mengusir kejenuhan. Juga tak ada teman berdiskusi untuk mengambil sebuah pilihan di saat perjalanan menemui beberapa keraguan. Seperti saya. Awalnya saya juga ragu untuk memutuskan mau makan siang di mana hari itu, tidak ada yang bisa diajak berdebat, sampai akhirnya saya teringat ada satu makanan khas Surabaya yang sangat ingin saya coba dari dulu.

Lontong kupang namanya, ada yang belum pernah makan? Lontong kupang adalah sajian berupa irisan lontong yang disiram dengan kuah yang telah diberi bumbu bawang putih, cabai, dan bumbu khas masakan di Surabaya yakni petis, yang rasanya gurih manis. Setelah disiram kuah, lontong kembali disiram kupang yang sudah direbus matang beserta kuahnya. Untuk menggugah selera makan, di atas kupang ditaburi bawang goreng. Bahan utama dari sajian yang banyak ditemui di daerah Surabaya, Sidoarjo dan Pasuruan ini adalah kupang putih dengan nama latin Corbula faba H. Kupang ini semacam hewan laut sejenis kerang kecil, ukurannya hanya sebesar biji kedelai. Kupang biasanya bisa ditemui di daerah-daerah pinggir pantai atau lumpur berair asin, salah satunya di Madura, yang sangat dekat dengan Surabaya. Sepiring lontong kupang yang saya beli di warung Pak H. Woko di kawasan Jl. Kalasan No.30, Pacar Keling, Tambaksari, Kota Surabaya sore itu terasa nikmat, ditambah saya sedang kelelahan. Setelah membayar Rp 12.000 untuk seporsi lontong kupang dan Rp 3.000 untuk segelas es teh, saya kembali ke hostel karena langit sudah mulai gelap.



Hari Kedua
Hari kedua saya di Surabaya berjalan tidak terlalu spesial. Bepergian sendirian memang memberikan akses kebebasan yang sebebas-bebasnya bagi pelakunya. Tak terkecuali saya. Di itinerary yang sudah saya buat, sebenarnya saya sudah menuliskan banyak destinasi untuk hari kedua, sebut saja Monumen Kapal Selam, Tugu Pahlawan, Museum 10 November, dan Taman Suroboyo. Namun karena hari itu mendung, ditambah saya masih kelelahan karena hari sebelumnya, saya hanya mengunjungi Taman Suroboyo dan mengeliminasi tiga destinasi lainnya. Bebas menyabotase itinerary sesuka hati. Ternyata ini nikmatnya solo travelling. Haha. Setelah mandi dan berganti pakaian, saya menuju Taman Suroboyo sekitar pukul 09.00 WIB.

Taman Suroboyo adalah salah satu dari banyaknya taman di Surabaya yang banyak dikunjungi. Layaknya taman-taman lainnya, Taman Suroboyo memiliki area leluasa yang sempurna untuk tempat bermain anak-anak. Ada beberapa hal yang membuat taman Suroboyo ini berbeda dengan taman-taman Surabaya lainnya. Taman Suroboyo berlokasi di pinggir Pantai Kenjeran, Surabaya Utara, lokasinya yang berpapasan langsung dengan Laut Madura membuat angin laut bertiup cukup kencang di taman Suroboyo. Keadaan yang seperti inilah yang menjadikan Taman Suroboyo sebagai tempat favorit warga untuk bermain layang-layang. (Sumber: https://www.goodnewsfromindonesia.id/)

Pagi itu, 25 Desember 2019, pengunjung Taman Suroboyo sangat ramai. Maklum, tanggal merah. Orang tua, anak-anak, maupun kaum muda dari semua kalangan ada di taman ini. Beberapa sedang menikmati jajanan yang dijual pedagang makanan di sekitar lokasi, beberapa anak bermain mobil-mobilan, beberapa bermain layang-layang, beberapa bercengkerama dengan nikmatnya. Saya? Menikmati suasana taman. Itu sudah lebih dari cukup. Yang terlihat mencolok dari taman ini sebenarnya adalah patung hiu dan buaya besar yang ada di tengah-tengah taman, yang menambah kesan unik dan feel dari Surabaya itu sendiri. Tanaman di sekitar taman dipelihara dengan baik dan tumbuh subur. Bunga-bunga bermekaran, banyak kupu-kupu juga di sekitar. Saya betah sekali berada di sana. Pagi yang menyenangkan, sebelum saya teringat bahwa sore itu saya harus kembali pulang ke Jogja. Menyelesaikan liburan sendirian yang sangat singkat itu. Kembali ke rutinitas.





Ini nggak ada di Jogja!



Setelah mengemasi barang-barang di kamar dan check-out, saya tidak langsung menuju stasiun untuk pulang. Toh, kereta saya baru akan berangkat pukul lima sore. Saya memutuskan untuk mengisi perut dahulu. Bebek goreng Sinjay adalah pilihan makan siang saya hari itu. Sudah lama saya ingin menikmati kuliner ini. Teman-teman di kantor sering membicarakannya. Bebek goreng Sinjay memang sangat tersohor sebagai kuliner khas di Surabaya-Madura. Saat ini Bebek goreng Sinjay sudah memiliki lima outlet atau warung di Jawa Timur sendiri. Menurut hemat saya, yang membuat unik dan khas dari kuliner ini ada di bumbu dan juga sambalnya. Bumbu yang dimasak bersama bebek terasa sangat gurih, daging bebeknya pun lembut. Sambal yang disajikan juga berbeda dengan kebanyakan warung bebek goreng yang bisa saya temui di Jogja. Di Sinjay, sambal sebagai pelengkap bebek goreng berbahan dasar mangga muda. Rasanya segar dan pedas, sangat pas dengan gurihnya bebek yang disajikan. Sore itu, perut saya sangat bahagia.

Delicioso!



Dan dengan berakhirnya perjalanan jauh sendirian pertama ini, saya mulai memahami beberapa hal penting. Ketika bepergian sendirian, sayalah yang harus mengambil keputusan untuk diri sendiri. Apakah saya ingin pergi ke tempat yang ramai dikunjungi orang, menyusuri gua yang sepi, menyeberangi lautan, memanjat tebing, atau macam-macam hal gila lainnya, semua itu adalah keputusan saya sendiri. Saya mau tak mau pasti akan belajar untuk mengambil keputusan, menanggung risiko atas keputusan yang saya ambil, beradaptasi dengan berbagai perubahan dan situasi yang kurang menyenangkan, dan lain-lain lagi.

Oleh-oleh untuk ibunda tersayang

See you next time, Surabaya!

Bagi sebagian besar orang di negeri kecil ini, melakukan berbagai hal sendirian, seperti makan sendirian, nonton film sendirian, belanja sendirian, ngopi sendirian, atau jalan-jalan sendirian adalah hal yang mungkin memalukan dan amat jarang sekali dilakukan. Mungkin memang aneh sih, tapi seiring waktu yang berputar cepat dan semakin sering pula kita melakukan segala sesuatu seorang diri, kita pasti akan merasa bahwa sendirian bukanlah sebuah masalah besar. Malah, hal ini bakal memberi kita waktu berharga untuk diri sendiri, untuk memahami skenario kehidupan yang tengah kita lalui dari sudut pandang diri sendiri, tanpa perlu berbicara pada orang lain.

Pun demikian dengan menjadi solo traveller. Merupakan tantangan tersendiri bagi kita untuk melakukan pengendalian diri dalam menghadapi sejumlah pilihan yang kita temui di tengah perjalanan. Saat kita sendirian dan berada jauh dari orang-orang yang biasa ada di dekat kita, menemukan jati diri pun akan mudah dilakukan karena di sana serta merta hanya ada diri kita sendiri dan Sang Maha Pencipta. Dan yang paling menyenangkan, “Solo travelling itu bebas drama!”


Yogyakarta, 31 Desember 2019

Post a Comment

0 Comments